Madura Lumbung Santri dan Intelektual

Senin, 31 Agustus 2009

Kiai Masyhurat Lebih Hebat dari Syekh Puji, 5 Istri Dinikahi di Bawah Umur !


LENTENG, SUMENEP. Pujiono Cahyo Widianto atau Syekh Puji yang namanya mencuat belakangan ini akibat menikahi bocah di bawah umur tampaknya bukan apa-apa bagi Masyhurat Usman, seorang kiai tenar di Kabupaten Sumenep, Pulau Madura. Jika Syekh Puji (pemilik Ponpes Miftakhul Jannah, Semarang) menikahi seorang saja bocah putri di bawah umur, KH Masyhurat memiliki lima istri yang dinikahinya saat mereka masih di bawah umur. Total jumlah istri KH Masyhurat yang kini berusia 57 tahun itu sebanyak 10 orang.

Kemarin Surya mengunjungi kediaman KH Masyhurat di Dusun Tarebung, Desa Lenteng Barat, Kecamatan Lenteng, Sumenep. Surya ditemui oleh santri kepercayaannya, Mujiburrahman (yang dipanggil Jibur), dan seorang istri KH Masyhurat karena kebetulan sang kiai sedang pergi ke luar kota.

Menurut Jibur, dari 10 istri KH Masyhurat Usman, lima di antaranya dipersunting saat para perempuan itu masih berumur antara 12 dan 17 tahun. Sebagian besar orangtua perempuan yang dipinang oleh KH Masyhurat itu ikhlas dan merelakan anaknya dikawini sang kiai.

“Bukan hanya orangtua yang menerima dan ikhlas memiliki menantu Abah Masyhurat, anak-anak perempuan itu pun senang hati menerima pinangan Abah,” tandas Jibur, Kamis (30/10/08).

Menurut Jibur, yang dinikahi KH Masyhurat saat masih di bawah umur adalah Ernawati (ketika kelas VI SD), Hindun (dikawini tatkala kelas 1 SMP), Maskiyah ketika masih 15 tahun, Sahama dinikahi saat kelas IV madrasah ibtidaiyah (setingkat SD) dalam usia 10 tahun, dan Linda Yusniah dinikahi saat belum genap 17 tahun.

Menurut Jibur, pernikahan kiai kharismatik itu untuk membantu mereka yang lemah, baik dalam agama maupun dalam kehidupan ekonomi.

Setelah dinikahi KH Masyhurat, para istri di bawah umur itu sudah naik haji semua. Dari 10 istri kiai itu, tinggal seorang yang belum bergelar hajah.

“Pernikahan Nabi Muhammad SAW dan Aisyah RA menjadi salah satu rujukannya. Dan, dibolehkan mengawini perempuan yang sudah haid karena sudah dianggap akil balik. Bahkan, belum haid sekalipun dapat dinikahkan, asal tidak boleh digauli dulu sebelum haid,” kata Jibur.

Namun, saat ditanya apakah setelah perkawinan itu para istri di bawah umur tersebut langsung digauli oleh KH Masyhurat, Jibur mengaku tidak tahu secara pasti. Cuma dia melihat, istri-istri sang kiai yang dikawini dalam usia dini tersebut tidak langsung punya anak sampai bertahun-tahun. Kini para istri KH Masyhurat yang dinikahi saat masih di bawah umur itu, berusia rata-rata 25 tahun.

“Kiai kan pasti tahu bagaimana memperlakukan istri yang masih di bawah umur karena ilmu kiai kan sudah tinggi. Tidak mungkin beliau mengeksploitasi anak-anak,” kata Jibur.

Komentar Jibur juga dibenarkan Hajah Maskiyah, istri kelima KH Masyhurat. Menurut Hajah Maskiyah, perkawinan di bawah umur tidak perlu diperdebatkan. Yang penting orangtua dan anak yang akan dinikahkan setuju dan sudah dinyatakan akil balik atau setidaknya sudah mengalami haid.

“Yang sangat penting, sang suami bertanggung jawab menafkahi istrinya, baik secara lahir maupun batin,” ujar Hajah Maskiyah yang saat dikawini KH Masyhurat berumur 15 tahun.

Hajah Maskiyah menambahkan, istri-istri KH Masyhurat yang berjumlah 10 orang sebagian besar dinikahi sebelum usia mereka 20 tahun. Bahkan, salah satu istri KH Masyhurat, yakni Hajah Sahama, dikawin saat dia masih duduk di kelas IV madrasah ibtidaiyah dan berumur sekitar 10 tahun.

“Tak satu pun di antara kami mengeluhkan adanya masalah baik lahir maupun batin. Kami semua kini hidup rukun dan tenang dalam satu kompleks rumah laksana saudara,” tutur Hajah Maskiyah dengan bangga.

Namun, ada juga istri KH Masyhurat yang sudah tua saat dinikahi, yaitu istri terakhir KH Masyhurat, yakni Hajah Zubaidah yang dikawin sewaktu dia telah berumur 45 tahun. “Jadi, kiai kawin bukan karena nafsu, melainkan ibadah dan dakwah,” ucap Hajah Maskiyah.

Saat ditemui Surya beberapa waktu lalu, KH Masyhurat mengatakan bahwa perkawinan merupakan urusan pribadi atau hak azasi tiap-tiap individu. Bagi dirinya, poligami (perkawinan dengan banyak istri) itu demi mengikuti sunah rasul sepanjang memiliki kemampuan secara ekonomi dan bisa berbuat adil, baik lahir maupun batin, kepada para istri.

KH Masyurat menegaskan, dirinya melakukan pernikahan dengan motif ibadah, bahkan demi kepentingan penyebaran (syiar) agama Islam, bukan karena dorongan nafsu birahi.

“Intinya untuk menyebarkan agama, yakni Islam. Salah cara untuk menyebarkan agama Islam dengan cara memperbanyak keturunan,” tutur KH Masyhurat yang kini memiliki 24 orang anak.(http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2008/10/31/08253582/5.istri.kiai.masyhurat.juga.dinikahi.saat.masih.muda)

Uswatun Hasanah, S.Pd (Bu Us-Mantan Guru Raudlatul Ulum)


Uswatun Hasanah, S.Pd, lahir di Tulungagung, 28 Mei 1968 silam. Menamatkan pendidikan dasar dari MI Riyadlotul Uqul lulus tahun 1982. Lalu melanjutkan ke MTs Negeri 1 Tulungagung hingga lulus tahun 1985. Menempuh pendidikan menengah atas di MAN 1 Tulungagung, lulus tahun 1988. Berkat prestasinya yang cukup baik, ia menekadkan diri menempuh pendidikan sarjananya di IKIP Surabaya, dan berhasil lulus dengan predikat sangat memuaskan pada tahun 1990.

Bu Us (begitu ia akrab disapa) adalah seorang yang cukup kaya pengalaman dalam mengajar. Sebelum di Al Azhaar, suka-duka menjalani profesi keguruan pernah ia alami diantaranya; di SMPN Klampis Bangkalan Madura. Lalu MTs Raudlatul Ulum Klampis, Bangkalan, Madura. Pernah juga mengajar di MA Raudlatul Ulum Klampis Bangkalan Madura, dan mengajar TK di R.A. Darussalam kedamean Gresik. Tidaklah mengherankan kalau perempuan berusia 40 tahun ini ditunjuk sebagai walikelas 6B SD Islam Al Azhaar. Bekal pengalaman mengajar yang cukup lama merupakan jaminan tersendiri atas kemampuannya.

Hidup Mulia Mati Masuk Surga adalah motto hidupnya. Karenanya, sedapat mungkin ia berusaha untuk melaksanakan amalan-amalan yang akan mengantarkannya pada kedududukan mulia itu. Salah satunya adalah dengan mendalami ilmu Al Qur’an dan juga mengamalkannya. Dalam hadistnya Rasulullah Saw, bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah mereka yang belajar Al Qur’an lalu mengajarkannya pula.” Hal ini sesuai dengan kegemarannya selama ini yakni mendengarkan, membaca dan mempelajari Al Qur’an. Apalagi, saat ini ia begitu giat terlibat di dalam pembinaan-pembinaan Al Quran yang diadakan oleh lembaga. Di dalam kesan dan pesannya ia menuliskan bahwa ia sangat senang mengajar di Al Azhaar. Al Azhaar telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam perjalanan hidupnya. Terlalu banyak suka cita dibandingkan kecewa. Karenanya ia begitu sangat senang dan betah.

Sekarang, ia bersama keluarga tercintanya tinggal di dusun Doropayung RT 4 RW 2 desa Doroampel, kecamatan Sumbergempol, Tulungagung. Dari pernikahannya dengan Malhudji As’ari (Pak Dam-Panggilan akrabnya-Mantan Kepala Sekolah MARU), ia dikaruniai tiga anak. Sulung bernama Alfi Kamalia, anak kedua Alya Raviqa, lalu bungsu bernama Faiz Infradillah.(admin)

Rabu, 19 Agustus 2009

Pemusyrikan Massal Berkedok Pelestarian Budaya Rokat Tase’




Oleh: Badrus Syamsi
Asal: Klampis, Bangkalan


Seperti apa yang telah diberitakan oleh Jawa Pos (Selasa, 13/11/07), bahwa rangkaian ritual rokat tase’ di pesisir pantai Klampis Timur, Kecamatan Klampis, Bangkalan berupa larung sesaji ke tengah laut, tumpeng jumbo berikut 56 tumpeng kecil, tak ketinggal sesajen utama berupa kepala sapi. Astaqfirullahal adzim...

Dalam rangka pelestarian budaya rokat tase', warga pesisir pantai dianjurkan agar tidak bekerja lalu serempak dimusyrikkan, lewat acara tersebut. Alasannya adalah bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di sini lafal Tuhan Yang Maha Esa (dari sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa) telah menjadi simbol syetan, karena yang dimintai berkah adalah apa yang mereka anggap sebagai penjaga laut, misalnya kepercayaan legenda/ mitos, yaitu kepercayaan terhadap syetan dengan meletakkan kepala sapi di pagak (Palo: bhs madura) yang merupakan tetenger muara pantai.

Bukan hanya warga sekitar, tokoh pemuda, mahasiswa dan aparat desa saja yang menggalakkan kemusyrikan dengan aneka upacara model animisme primitif yang sudah diberantas oleh para ulama dahulu. Tetapi didukung oleh Muspika, Salah satunya adalah Camat yang ikut serta menyemarakkan upacara kemusyrikan tersebut.

Dengan demikian, tatkala kemudian Allah swt menimpakan bencana tsunami di Aceh dan musibah nasional lainnya, seharusnya masyarakat yang telah mengadakan upacara resmi kemusyrikan yang menentang Allah swt ini mestinya sadar dan bertobat. Tetapi justru bertambah semakin meratanya kemusyrikan. Bukannya sadar dan kembali kepada Allah swt, namun justru lebih kental kemusyrikannya.

Itulah bukti nyata pemusyrikan umum secara massal yang dimotori oleh para tokoh pemuda dan mahasiswa islam dan lebih anehnya lagi didukung oleh pemuka desa dan muspika kecamatan serta anggota DPR. Upacara-upacara adat pakai sesaji itu sudah jelas kemusyrikannya dan bertentangan dengan ajaran Islam. Tetapi di pesisir, sejak anak-anak sudah dikasih tontonan bahkan contoh kemusyrikan, baik oleh para orang tua ataupun para mahasiswa Islam.

Pencopotan Tauhid secara massal ini, lebih dahsyat dibanding sekadar penjajahan fisik oleh Belanda dan lainnya selama 350 tahun. Masyarakat awam digarap untuk menjadi musyrik yang sangat dimurkai Allah swt.

Sadarlah wahai tokoh masyarakat, dan sadarlah wahai saudara-saudaraku, para pemuda dan mahasiswa khususnya di Klampis Timur. Dalam hidup ini, manusia hanyalah ditugaskan untuk menghamba, mengabdi, beribadah kepada Allah swt.

Masuk akal lah kalau penghuni-penghuni neraka itu tidak sedikit dan kekal di dalamnya. Karena memang tingkat kejahatannya tidak bisa kita hitung lagi. Bayangkan kalau memusyrikkan ratusan orang secara sistematis. Nanti yang dimusyrikkan itu kemudian beranak pinak lagi, mereka musyrik lagi dan seterusnya, dan itu atas upaya dari kita asalnya, betapa dahsyatnya.

Terkutuknya orang Yahudi Bani Israel karena penentangannya terhadap aturan Allah swt hingga diubah menjadi babi dan kera, masih tersurat nyata dalam Kitab Suci Al-Qur’an sebagai peringatan, dan kita tentu wajib mempercayainya. Kisahnya ada di dalam beberapa surat, yaitu:
Katakanlah, "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka yang dijadikan kera dan babi dan menyembah thaghut?" Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (QS. Al-Maidah: 60)
Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya, "Jadilah kamu kera yang hina.(QS. Al-A'raf: 66)

Namun kini upaya untuk menjadikan manusia ini jadi babi dan kera justru digalakkan secara seksama, atas inisiatif kita semua. Naudzubillahi min dzalik…

Tulisan ini hanya sebuah kegelisahan yang bisa diungkapkan secara sederhana, oleh seorang santri yang lemah tetapi resah atas masyarakatnya, sampai berlindung di dalam kamar-kamar terkunci pun masih diburu dan dijajah, untuk dicopot imannya dan dilepas akhlaq, moral, dan etikanya. Dari dada yang berisi keimanan Tauhid, digerayangi untuk diganti menjadi syirik.

Akankah pencopotan iman dan pelucutan akhlaq ini kita lanjutkan bersama? Hingga anak-anak dan para orangtua yang masih ada imannya di dada sangat sesak untuk bernafas, karena keluarga, anak-anak dan cucunya walau berada di dalam rumah pun digarap atas nama "pelestarian budaya" yang mencopot iman dan akhlaq setiap saat. Lantas, dimanakah tempat seorang santri lemah seperti penulis ini, bila hanya untuk bernafas lega saja sudah tidak ada tempatnya lagi, wahai saudara-saudaraku, kembalilah dengan hukum Allah! Sumber: (Catatan Pribadi/2007)

Semoga bermanfaat.

Jenggot dan Surban, Produk Budaya Arab?



Oleh : Badrus Syamsi
Asal : Bangkalan

Peristiwa ini terjadi ketika penulis dalam masa pengabdian di suatu pondok pesantren salaf Al-Huda Wajak Malang, waktu itu ada tamu alumni yang dulu satu kelas dengan penulis di pondok pesantren tersebut. Dia baru satu semester diterima di salah satu Universitas Islam yang terkenal di Malang. Seperti pada umumnya budaya santri yang sudah alumni, tidak lupa selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk silaturrahim kepada para kiai dan teman-temannya. Karena sama-sama kangen kamipun malam itu juga, mengajak dia berkumpul dengan teman-temannya dan meminta dia bercerita tentang pengalamannya di kampus.
Tetapi setelah beberapa saat, dari pendapat-pendapatnya ada sesuatu yang ganjil dan berbeda dengan apa yang kami sama-sama pelajari dulu. Dia mengatakan kepada kami "bahwa jenggot yang kamu pelihara dan surban yang kamu pakai itu bukanlah sunnah Rasulullah, tapi itu adalah produk budaya Arab" dus.. "Astaqfirullah.." kami tersentak, tapi dia seperti tidak punya dosa dengan ucapannya tadi, yang pada akhirnya menimbulkan perdebatan yang hebat diantara kami dengan mengungkapkan argumen masing-masing dan sampai larut malampun tidak ada titik temunya.
Kisah ini adalah salah satu kasus dari beberapa kasus alumni sebuah pondok pesantren yang menentang sunah Rasulullah saw setelah mereka menjadi mahasiswa di sebuat Perguruan Tinggi yang berlabelkan Islam. Dari cerita di atas bisa kita mengambil sekurang-kurangnya dua pelajaran yang sangat penting, pertama adalah hakekat seorang mahasiswa muslim dan yang kedua hadits Rasullullah saw. Yang diklaim sebagai produk budaya arab.
Pertama, hakikat seorang mahasiswa muslim adalah sebagaimana yang diharapkan oleh Fatullah, salah satu dosen Pasca Sarjana di UI Jkt, UIN Jkt, UIN Bandung, dan beberapa Universitas Islam terkemuka lainnya, Fathullah mengatakan bahwa menjadi mahasiswa jurusan ilmu-ilmu agama, baik itu tafsir, hadits, fiqh, aqidah, dakwah dan lain-lain secara sengaja sudah mengarahkan dirinya untuk menjadi ulama dan pakar dalam bidang kajian yang digelutinya. (Fathullah:2007, hal. 25)
Harapan Fathullah, seorang mahasiswa muslim jika selesai studinya mampu meneruskan estafet perjuangan para ulama, yang akhir-akhir ini diserang dari berbagai arah oleh musuh-musuh Islam yang menginginkan agar agama Islam perlahan-lahan hancur atau minimal menjauhkan umat islam dari agamanya. Tentunya membutuhkan sarjana muslim yang cukup handal untuk menghadapinya, bukan justru menghancurkannya seperti mahasiswa mantan santri yang telah penulis ceritakan di atas.
Kedua, hadist rosullullah SAW diklaim sebagai produk budaya arab. Gugatan terhadap hadits bermula pada pertengahan abad ke-19 masehi oleh orientalis dan pertama kali yang mempersoalkan status hadits dalam islam adalah Alois Sprenger seorang orientalis-misionaris asal jerman yang mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik). (Syamsuddin: 2008, hal. 28) Orientalis yang dimaksud disini adalah para ilmuan barat yang mengkaji Islam dari berbagai aspeknya dengan tujuan membantah kebenaran Islam dan menunjukkan celanya. (Khadhar: 2005, hal. 76)

Tuduhan bahwa Hadits adalah hasil produk budaya Arab diamini oleh Ignaz Goldziher seorang Yahudi kelahiran Hungaria ini sempat "nyantri" di Univesitas Al-Azhar Kairo, Mesir selama kurang lebih setahun (1873-1874). Menurut dia hadist adalah produk bikinan masyarakat Islam beberapa abad setelah Nabi saw. Wafat, bukan berasal dan tidak asli dari beliau. (Syamsuddin: 2008, hal. 30)

Kemudian di Mesir muncullah Nasr Hamid Abu Zayd yang mengingkari otentisitas sunnah Rasululullah saw bahkan mengatakan Al-Qur'an adalah produk budaya (muntaj tsaqafi) sehingga Mahkamah Agung Mesir pada tanggal 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan bahwa Nasr Hamid Abu Zayd dinyatakan murtad dan perkawinannya dibatalkan. (Syamsuddin: 2008, hal. 188)
Menurut M. Natsir, orang yang tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengetahuan adalah seorang sekularis. Sedangkan gerakan sekularisasi di Indonesia di mulai akhir tahun 1960 oleh aktivis Islam yang tergabung dalam Lingkaran Diskusi Limited Group, yang sangat terpengaruh oleh buku "The Secular City"nya Harvey Cox. Diantara anggotanya yaitu Dawam Raharjo, Djon Effendi dan Ahmad Wahid. (Husaini: 2009, hal. 37)

Sekularisasi masuk ke Perguruan Tinggi bisa dikatakan dimulai tahun 1973 dengan ditetapkannya buku Islam ditinjau dari berbagai aspeknya karya Prof. Harun Nasution (alumnus Studi Islam McGill University) sebagai buku wajib dalam studi Islam di PTI. Pada tanggal 3 Desember 1975, Prof. HM Rasyidi, menentang keras bukunya Prof. Harun Nasution dan mengkritik fasal demi fasal bahwa buku itu sangat berbahaya, sekaligus meminta kepada Kementrian Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut. Sayangnya buku tersebut sampai sekarang masih dijadikan sebagai buku wajib di seluruh IAINdi Indonesia. (Husaini: 2009, hal. 39-40)
Pendapat-pendapat yang menyesatkan dalam buku-bukunya orientalis dan Neo-Orientalis ini langsung ditelan mentah-mentah dan diadopsi tanpa adapsi kritis oleh beberapa mahasiswa IAIN Indonesia. Sehingga tidaklah heran, jika Universitas Islam atau Perguruan Tinggi Islam di Indonesia melahirkan sarjana Muslim yang ikut-ikutan orientalis mengecam hadist Rosulullah saw. walaupun masih banyak juga mahasiswa muslim yang berpegang teguh kepada al-Qur'an dan hadits Rosulullah saw. Semoga bermanfaat.
Daftar Pustaka
 Fathullah, Ahmad Lutfi, "Selangkah Lagi Mahasiswa UIN Jadi Kiyai" (Al-Mughni Pres Kuningan Jakarta 2007)
 Syamsuddin, Arif, "Orientalis dan Diabolisme Pemikiran" (Gema Insani Jakarta 2008)
 Khadhar, Lathifah Ibrahim, "Ketika Barat Memfitnah Islam" Penerjemah Abdul Hayyie (Gema Insani Pres Jakarta 2005)
 Syamsuddin, arif, "Orientalis dan Diabolisme Pemikiran" (Gema Insani Jakarta 2008)
 Adian Husaini, "Indonesia Masa Depan perspektif Peradaban Islam" Disampaikan Dalam Acara Tasyakkuran dan Orasi Ilmiah DR. Adian Husaini oleh INSISTS di Aula Masjid Al-Furqan-DDII Indonesia, 2009