Madura Lumbung Santri dan Intelektual

Sabtu, 12 September 2009

Pengemis Modern Taklukkan Ibukota


Siapa yang tidak kenal dengan kampung pengemis di Desa Pragaan Daja, Kecamatan Pragaan. Selain sudah di-blow up media secara besar-besaran, setiap puasa masyarakat setempat menanggung beban sosial yang tinggi lantaran menjadi rujukan masalah pengemis.
SUATU hari Matori Abdul Jalil, bekas menteri pertahanan di era Presiden Gus Dur berbincang santai dan sedikit mengeluh. Kepada M. Ali Alhumaidy, salah satu tamunya ketika itu, Matori mengeluhkan banyaknya proposal kegiatan yang masuk.Tapi, Matori tidak murni mengeluhkan banyaknya proposal itu. Melainkan, pengirim proposal kebanyakan berasal dari Desa Pragaan Daja, Kecamatan Pragaan. Sehingga, justru membuat Matori curiga dan pasti ada sesuatu yang salah."Mungkin Anda bisa telusuri, apakah benar proposal kegiatan yang kebanyakan untuk pembangunan masjid itu," kata Matori kepada Malhum-sapaan M. Ali Humaidy-kala itu.Sejak itulah Malhum yang tercatat sebagai dosen STAIN Pamekasan ini terketuk hatinya. Terutama, untuk mengkaji dan meneliti lebih jauh soal keberadaan pengemis di Desa Pragaan Daja. Itu sebabnya, begitu ada kesempatan membuat tesis untuk S2 (strata) di jurusan Sosiologi Universitas Indonesia, dia langsung ingat perkataan Matori.Penelitian itu akhirnya dilakukan oleh Malhum. Dari perhitungannya, tak kurang dari delapan bulan dia meneliti kehidupan pengemis di Desa Pragaan Daja. Bukan saja dari dekat ke lokasi, tetapi sempat mengikuti beberapa pengemis ketika beraksi. "Sudah tidak terhitung berapa bulan saya tidur dan tinggal di Pragaan Daja. Itu demi mencari data empiris," katanya.Di Pragaan Daja itulah Malhum bertemu dengan banyak pihak. Khususnya, para informan, komunitas pengemis dan masyarakat non pengemis. "Untuk membuktikan kegiatan mereka, saya sempat melacak sampai Surabaya, Cirebon, dan Jakarta," paparnya.Dari pelacakan dan penelitian itulah, menurut Malhum, pihaknya menemukan beberapa kesimpulan atas fenomena di Desa Pragaan Daja. Misalnya, soal kriteria pengemis. "Pengemis itu saya lihat ada dua, yang konvensional dan nonkonvensional," ungkapnya.Untuk pengemis konvensional, Malhum merujuk kepada mereka yang biasa mengemis secara door to door, berada di emperan toko dan sebagainya. Ciri mereka biasanya menggunakan baju compang camping dan jauh dari layak."Sedangkan pengemis nonkonvensional lebih maju. Makanya, saya kadang menyebut mereka pengemis modern," jelasnya.Dianggap modern lantaran telah memanfaatkan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan. Misalnya, menggunakan nama-nama di alamat buku telepon. "Yang modern biasanya tidak berpakaian compang camping, tapi lebih necis. Dan, mereka tidak door to door. Tapi, dengan banyak mengirim proposal atau menemui langsung membawa surat permintaan dana," jelasnya.Malhum mengakui, pihaknya lebih tertarik kepada pengemis konvensional sebagai bahan kajian. Terutama, dari segi aktifitas keseharian mereka. Menurut dia, ketika seorang pengemis berangkat, biasanya menggunakan baju bagus. Namun, mendekati sasaran langsung berganti baju. "Kalau ke Sumenep, misalnya. Mendekati terminal, mereka turun dan ganti baju. Selesai bekerja mereka ganti baju bagus lagi," terangnya.Dilihat secara empiris di lapangan, para pengemis itu, ungkap Malhum, kondisi ekonominya bisa dibilang mampu. Indikatornya, mereka memiliki rumah keramik, sepeda motor, bahkan ada yang memiliki parabola."Umumnya, yang kami wawancarai mengaku mengemis untuk biaya hidup. Mereka ini malas bekerja. Mereka memilih mengemis daripada bekerja lantaran tidak ada motivasi," jelas Malhum.Dari beberapa studi lapangan itu, Malhum lalu menghubungkan teori kemiskinan, kemiskinan fisik dan psikologis. "Warga Pragaan Daja yang mengemis lebih kepada miskin secara psikologis," katanya.Malhum menjelaskan, mereka miskin secara psikologis lantaran sebenarnya mampu, tapi menjadikan kegiatan mengemis sebagai mata pencaharian. "Mengapa mereka enjoy, bukankah tidak mulia menurut pandangan agama? Ini yang menjadikan mereka sebenarnya miskin dari psikologis," urainya.Setelah dikaji lebih jauh, selain aspek psikologis, Malhum melihat adanya faktor penyebab lain. Misalnya, dari segi regulasi ekonomi, di Desa Pragaan Daja jauh dari aktifitas pasar. Juga dari segi geografis, warga setempat hidup di tempat tidak produktif.Dari penelitiannya itulah Malhum menyusun tesis berjudul Sosialisasi Nilai Pada Masyarakat Pengemis di Desa Pragaan Daja Kecamatan Pragaan. "Artinya, perlu dilihat secara utuh jika melihat pengemis. Mengharamkan mereka boleh, apabila menyangkut aktifitas bohong. Misalnya, membawa proposal fiktif dan sebagainya," terang Malhum.Sebelumnya, MUI Sumenep mengharamkan pengemis. Namun, belakangan muncul kriteria yang diharamkan. Terutama, mereka yang meminta sumbangan, namun sebenarnya kegiatan fiktif. (mat/AKHMADI YASID/jp.com/sfl)(http://koranmadura.blogspot.com/2009/09/kampung-pengemis-di-desa-pragaan-daja.html)

Senin, 07 September 2009

Aku Malu Jadi Orang Madura













Oleh: Badrus Syamsi, MA (Madura Asli)

Di sini
Perkenankan aku berseru:
- madura, engkaulah tangisku
bila musim labuh hujan tak turun
kubasuhi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku...
di ubun langit kuucapkan sumpah:
- madura, akulah darahmu.
(D. Zawawi Imron, 1996)

Terdapat sebuah stigma sosial yang sudah lama dipergunakan ‘orang luar’ untuk mengidentifikasi masyarakat Madura hingga kini, yaitu keterbelakangan dan kekerasan. Dua label yang belum tentu benar itu selalu muncul ketika orang-orang berbicara tentang Madura dan masyarakatnya. Stigma ini sering terdengar oleh penulis yang pernah hidup dan dibesarkan di luar Madura.

Kekasaran seakan-akan menjadi atribut yang melekat dalam jati diri masyarakat Madura. Banyak orang mencitrakan masyarakat dan kebudayaan Madura dengan sikap serba sangar, mudah menggunakan senjata dalam penyelesaian masalah (carok), pendendam dan tidak mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan. Begitulah anggapan mereka pada umumnya.

Ada yang mengaitkan citra kekasaran masyarakat Madura dengan pengalaman masa lalu.Di masa kapitalisme kolonial, masyarakat Madura mengalami proses eksploatasi dan dehumanisasi. Perlakuan itu melahirkan perilaku kriminal di tengah masyarakat.
Meskipun penulis sulit membantah bahwa kekerasan telah menjadi bagian dari kehidupan orang Madura masa lalu. Jenis pekerjaan kadang mengkondisikan mereka bersikap tegas, berani, dan terkadang berlaku kasar agar tetap eksis. Dalam kasus-kasus tertentu, temperamen orang-orang Madura yang ’serba keras’ itu dan itu memang penulis akui, tapi itu bisa dimanfatkan untuk menekan lawan (premanisme) dalam menyelesaikan masalah.

Sebenarnya kalau kita boleh bangga, mengutip seorang peneliti luar, Mien A. Rifai mengatakan Madura bukan pulau melainkan benua. Madura memang kecil, tetapi unsur-unsur kebudayaannya sangat kaya. Mungkin karena kuatnya pencitraan negatif tersebut, sebagian orang-orang Madura di perantauan, terutama kaum terpelajar, mahasiswa merasa malu menunjukkan jati dirinya sebagai orang Madura. Kasus ini ini terjadi terhadap teman-teman dan saudara penulis yang malu mengaku berasal dari Madura (di alamat face book mereka jarang mencantumkan berasal dari madura)

Wahai saudar-saudaraku...
Kita harus sadar kebudayaan Madura menghadapi tantangan dahsyat Pasca Suramadu ini. Sedangkan tantangan yang paling utama adalah pemuda Madura itu sendiri yang malu mengaku sebagai orang Madura, bahkan sudah tidak mau berbahasa Madura lagi (katanya tidak gaul). Kedua, bagaimana menghapus stereotipe negatif yang sudah terlanjur lengket di benak banyak orang tentang masyarakat Madura yang keras. Inilah saatnya teman-teman dan saudara-saudaraku untuk menjawab tantangan dengan menunjukkan identitas kalian dan jangan suka bersembunyi dan bangga dibalik identitas orang lain.

Terakhir, penulis sangat berterima kasih kepada para tokoh, teman-teman dan saudara-saudaraku yang ada diluar Madura yang masih peduli akan daerahnya, marilah kita bangkit bahwa kita bisa menjadi daerah yang disegani dan dihormati di seluruh dunia. Kawan Madura akan selalu menunggu kiprahmu dalam rangka membangun tempat kelahiranmu. Wallahu A'lam Bisshowab. Semoga bermanfaat.

Selasa, 01 September 2009

Rasulullah Bukan Pedofilia: Aisyah Tidak Berumur 9 Tahun Saat Menikah


Menanggapi kasus Syekh Puji dan Kiai Masyhurat yang sedang popular, ada baiknya saya kutipkan sebuah tulisan dari Dr. Muhammad Syafi’i Antonio dalam apendiks bukunya yang berjudul “Muhammad The Super Leader Super Manager”. Mudah2an tulisan ini dapat menjadi referensi, bahwa Rasulullah saw bukanlah seorang yang menikah dengan anak di bawah umur apalagi tudingan pedofilia dari kaum orientalis. Begitu juga sudah seharusnya apabila siapa pun yang mengaku umatnya belajar untuk meneladani beliau
Ringkasnya:
Ada baiknya kita lihat penelitian terhadap hadits mengenai umur Aisyah ketika dinikahkan. Hadits mengenai hal tersebut tergolong problematis alias dho’if (lemah). Beberapa riwayat yang tertulis dalam kitab-kitab hadits berasal hanya dari satu-satunya yaitu dari Hisyam bin Urwah yang didengarnya sendiri dari ayahnya.
Mengherankan mengapa Hisyam saja satu-satunya yang menyuarakan tentang umur pernikahan Aisyah tersebut. Bahkan para perawi terkenal seperti Abu Hurairah dan Malik bin Anas pun tidak meriwayatkannya. Itu pun baru diutarakan Hisyam ketika ia telah bermukim di Irak. Hisyam pindah bermukim ke negeri itu dalam umur 71 tahun.
Mengenai Hisyam ini Ya’qub bin Syaibah berkata, “Apa yang dituturkan oleh Hisyam sangat terpercaya, kecuali yang disebutkannya tatkala ia sudah pindah ke Irak". Syaibah menambahkan bahwa Malik bin Anas menolak penuturan Hisyam yang dilaporkan oleh penduduk Irak. Tertulis pula dalam kitab tentang sketsa kehidupan para perwai hadits, bahwa tatkala Hisyam berusia lanjut, ingatannya sangat menurun. Alhasil, riwayat umur pernikahan Aisyah yang bersumber dari Hisyam bin Urwah, tertolak!.
Untuk selanjutnya terlebih dahulu dikemukakan beberapa peristiwa penting secara kronologis :
Pra 610 M : Zaman Jahiliyah
610 M : Permulaan wahyu turun..
610 M : Abu Bakar masuk Islam.
613 M : Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan Islam secara terbuka.
615 M : Umat Islam hijrah ke HAbasyah.
616 M : Umar bin al Khattab masuk Islam.
620 M : Aisyah RA dinikahkan
622 M : Hijrah ke Madinah
623/624 M : Aisyah serumah sebagai suami isteri dengan Nabi s.a.w
Menurut At-Thabari. Keempat anak Abu Bakar dilahirkan oleh isterinya pada zaman Jahiliyah, artinya sebelum 610 M. Jika Aisyah dinikahkan dalam umur 6 tahun berarti ‘Aisyah lahir tahun 613/614 M. padahal menurut At-Thabari semua keempat anak Abu Bakar lahir pada zaman Jahiliyah, yaitu sebelum tahun 610 M. Alhasil berdasar atas riwayat Thabari, Aisyah tidak dilahirkan 613 M melainkan sebelum 610 M. Jadi kalau Aisyah dinikahkan sebelum 620 M, maka beliau dinikahkan pada umur di atas 10 tahun dan hidup sebagai suami istri dengan Nabi dalam umur di atas 13 tahun. Kalau di atas 13 tahun, dalam umur berapa?
Untuk itu marilah kita menengok kepada kakak perempuan Aisyah yaitu Asma. Menurut Abd. Al-Rahman ibn Abi Zannad. “Asma 10 tahun lebih tua dari Aisyah”. Menurut Ibn Hajar al Asqalani, Asma hidup hingga usia 100 tahun dan meninggal tahun 73 atau 74 Hijriah. Artinya, apabila Asma meninggal dalam usia 100 tahun dan meninggal dalam tahun 73 atau 74 Hijriyah, maka Asma berumur 27 atau 28 tahun pada waktu Hijrah, sehingga Aisyah berumur (27 atau 28 ) – 10 = 17 atau 18 tahun pada waktu hijrah. Dengan demikian berarti Aisyah mulai hidup berumah tangga dengan Nabi Muhammad SAW pada waktu berumur 19 atau 20 tahun!.

Wallahu a’lam bish-shawaab
(admin)