Madura Lumbung Santri dan Intelektual

Minggu, 08 November 2009

Kalau lulus kuliah kamu mau kerja apa?


Pertanyaan ini selalu dilontarkan ibuku, saudara-saudaraku, tetanggaku, saat aku pulang kampung ke Madura. Seperti kemarin, saat aku nelpon ibuku, jujur, aku bingung kalau ditanya masalah kerja selepas kuliah. Aku tak tahu harus menerangkan seperti apa. Ditambah ibuku mengharapkan agar aku menjadi seorang PNS. Padahal cita-citaku waktu kecil pengen jadi Polisi, karena dulu aku suka nonton film India yang jagoannya polisi.

(sebelumnya maaf kepada PNS karena tulisan ini hanya pendapat pribadi, tanpa menafikan peran PNS yang banyak bermanfaat bagi masyarakat)
Memang keinginan itu sudah lama ibu sampaikan. Artinya harapan itu benar-benar sebuah harapan seorang ibu pada anaknya, Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dengan nada becanda aku menanggapi, sebenarnya aku sama sekali tidak tertarik dengan PNS. Kerja PNS (misal Pemda) terlalu sederhana. Banyak waktu luang di kantor. Sama sekali kurang menantang dan lain sebagainya. Aku sampaikan, seumpama aku menjadi PNS, bisa jadi otakku tambah tumpul dan tidak terasah.

Bagaimana terasah kalau setiap hari PNS hanya memenuhi rutinitas di kantor. Bagaimana mungkin tertantang kalau PNS hanya sendiko dawuh pada atasannya. Aku tidak bisa membayangkan begitu membosankannya kerja itu. Aku rasa, aku tidak akan bisa menikmatinya.

Masih dalam telpon, lantas ibuku bertanya, sebenarnya kamu ini mau kerja seperti apa? Dengan sedikit becanda aku sampaikan kalau aku ingin bekerja mengabdikan hidupku pada dunia pendidikan. Aku tak tahu apakah ibuku paham apa yang aku katakan. Akhirnya aku jawab lagi sekenanya, kalau tidak di kemasyarakatan, aku ingin di pemberdayaan (LSM) atau mendirikan sebuah lembaga yang mandiri.

Ibuku menimpali, “Pendidikan, lha nanti ibu dapat apa?”. Sebuah lontaran yang sulit, karena aku rasa lontaran ini bersifat emosional, antara ibu dengan anak. Masih dengan nada becanda aku jawab, “Kalau sekarang kan ibu masih cukup sejahtera. Masih bisa mencari nafkah sendiri”. Aku tak tahu apakah jawabanku menyinggung perasaannya atau tidak. Tapi memang pertanyaan itu sangat pelik, problematis. Sekurang-kurangnya membenturkan aku pada beberapa pokok masalah; keinginanku untuk memperoleh kerja yang bisa aku nikmati, kepedulianku pada dunia pendidikan, dan keinginan ibuku untuk bisa mensejahterakannya.

Sampai sekarang pertanyaan, “Mau kerja apa?” adalah salah satu faktor yang membuatku kurang nyaman di rumah, yang lain, “Kapan selesainya kuliah?”. Selebihnya alasan teknis, aku tidak mempunyai kamar pribadi yang khusus aku sendiri karena aku jarang pulang walaupun rumahku banyak kamarnya, sehingga setiap kali pulang dalam kondisi apapun aku tidur di ruang tamu di atas sofa. Udara di pesisir pantai Madura terlalu panas, membuat aku tidak nyaman. Malam harinya, banyak nyamuk yang menemani tidurku dengan cupangan merah di sekujur tangan dan badan. Rumahku terlalu ramai, berisik lantaran rumahku pas dipinggir pantai, selain suara ombak yang bertalu-talu, juga mulai jam lima pagi nelayan ramai untuk berangkat melaut mencari ikan dan jam 12 siang mereka datang. Belum lagi malamnya kalau sedang mereka kerja malam.

Biasanya para nelayan kelihatan dari sumringah wajah mereka berseri-seri dan bahagia saat mereka pulang dengan membawa ikan yang banyak, tapi ada juga yang wajahnya kusut saat mereka memperoleh ikan sedikit. Aku lihat mereka termasuk orang-orang yang selalu bersyukur atas nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya tetapi ada juga yang kurang bersyukur atas rizki Allah, terbukti ketika mereka tidak mendapatkan ikan banyak, yang mereka salahkan mesinnya kurang bagus kek, perahunya sudah tua kek, jaringnya jelek kek pokoknya semua serba disalahkan. Mereka menggerutu dengan suara yang lantang diselal-sela bunyi ombak dan mesin perahu, tidak perduli kalau tetangga mereka ada yang lagi istirahat ataupun tidur.
Tetapi walaupun begitu gambaran desaku ada satu alasan pendukung, kenapa aku masih mau pulang kampung? pacarku asli orang Madura.