Madura Lumbung Santri dan Intelektual

Jumat, 27 Agustus 2010

Idiih, Puasa Kok Bohong!



Di akhir Pondok Ramadhan saya menemukan hal yang luar biasa, seorang siswa berdebat dengan temannya. Ketika temannya tadi dilihatnya melakukan kebohongan, ia langsung berkata kepadanya, ”Idiih, Puasa Kok Bohong, kita sedang berpuasa, tidak boleh berbohong.”. Temannya tadi menjawab, ”Memang kalau tidak berpuasa kita boleh berbohong?”. ”Bukan begitu,” sahut siswa tadi. ”Kata ibu, orang puasa itu kalau berbohong puasanya batal,” tambahnya. ”Ah, mana mungkin puasa kita batal, bukankah kita tidak makan dan tidak minum?” jawab teman tadi mendebat. ”

Itulah diskusi tingkat siswa MI pada acara Pondok Ramadhan. Kendati demikian, substansi diskusi itu tidak hanya berkaitan dengan anak-anak, tetapi juga sering melibatkan orang dewasa. Banyak orang beranggapan bahwa berbohong dan atau menggunjing orang lain saat berpuasa akan membatalkan puasanya. Bagaimana sebenarnya duduk perkaranya?.

Hadits Palsu
Sebenarnya kata ibu seorang siswa tadi adalah sebuah Hadits, teks lengkapnya sebagai berikut: ”Lima hal yang membatalkan orang berpuasa, dan membatalkan wudlu. Berbohong, mengumpat, mengadu domba, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan sumpah palsu.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu al-Fath al-Azdi dalam kitabnya al-Dhu’afa wa al-Matrukin, dan al-Dailami dalam Musnad al-firdaus, berasal dari Anas bin Malik. Imam al-Suyuti menyatakan bahwa Hadits ini dha’if. Sementara para ahli Hadits lain, seperti Abu Hatim, Ibn al-Jauzi, al-Iraqi dan al-Dzahabi menilai Hadits ini palsu. Hadits ini juga tercantum dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din, Hadits ini palsu. Juga tercantum dalam kitab Durroh al-Nashihin karya Utsman al-Khubbani, tanpa menyebutkan kualitasnya. Penilaian al-Suyuti ini tidak bertentangan dengan penilaian para ahli Hadits yang lain, karena Hadits palsu itu bagian dari Hadits dha’if.

Kepalsuan Hadits ini cukup parah, karena di dalam sanadnya terdapat rawi-rawi pendusta. Mereka itu antara lain Sa’id bin Anbasah, Muhammad bin al-Hajjaj al-Himshi dan Jaban. Menurut kritikus Hadits Imam Yahya bin Ma’in, Sa’id bin Anbasah adalah pendusta. Begitu pula menurut kritikus Hadits al-Iraqi. Sementara Muhammad bin al-Hajjaj al-Himshi menurut al-Azdi tidak boleh ditulis Haditsnya. Sedangkan Jaban menurut al-Dzhabi tidak dikenal identitasnya, bahkan menurut al-Azdi, Jaban adalah matruk al-Hadits (Haditsnya matruk, semi palsu).

Dalam disiplin ilmu Hadits, apabila dalam sanad sebuah Hadits terdapat satu rawi saja yang pendusta, maka Hadits itu dapat dinilai sebagai Hadits palsu atau Hadits semi palsu. Dan dalam Hadits pembatal puasa ini rawi-rawi yang lemah itu lebih dari satu orang. Karenanya, kualitas Hadits ini sangat parah, sangat palsu, karena rawi-rawi yang pendusta lebih dari satu orang. Ini belum ditambah rawi lain yang terdapat dalam sanad Hadits tersebut, yang juga lemah, seperti Baqiyah, kendati tidak separah yang lain.

Matannya Juga Lemah
Disamping lemah dari segi sanadnya, Hadits ini juga lemah dari segi matannya. Hal itu, karena Hadits itu menyebutkan bahwa perbuatan bohong, mengadu domba, mengumpat, melihat lawan jenis dengan syahwat dan bersumpah palsu adalah membatalkan puasa dan wudlu’.

Dalam kitab-kitab fiqih (hukum Islam), tidak ditemukan keterangan bahwa berbohong dan sebagainya itu membatalkan wudlu’. Apabila perbuatan-perbuatan itu tidak membatalkan wudlu’, maka hal itu juga tidak membatalkan puasa. Karena wudlu’ di situ disebutkan satu rangkaian dengan puasa.

Menghancurkan Pahala
Kendati Hadits itu palsu dan tidak dapat dijadikan dalil sama sekali, namun lima perbuatan itu tetap dilarang oleh agama. Karena perbuatan tersebut akan mendatangkan dosa, dan dosa dapat menghancurkan pahala ibadah.

Karenanya, meskipun Hadits itu palsu, namun hal itu tidak berarti ketika sedang berpuasa kita boleh berbohong dan sebagainya. Lima perbuatan itu tetap tidak boleh dikerjakan, baik kita sedang berpuasa maupun sedang tidak berpuasa. Hal itu karena ada Hadits lain yang shahih yang melarang perbuatan tersebut.

(Silahkan hadits-hadits di atas juga di koreksi di Maktabah Samilah)

Senin, 23 Agustus 2010

Catatan Pondok Ramadhan



Pada hari pertama pondok ramadhan ada hal menarik yang perlu aku tulis mungkin bisa diambil hikmahnya, seorang siswa bertanya kepadaku, katanya: "pak ustad boleh gak ya, kumur-kumur waktu puasa dengan alasan supaya gak bau mulut?.." sambil tersenyum aku jawab: "ini pertanyaan yang paling bagus"

Berkumur saat puasa? Begini anak-anakku.. (belum punya istri tapi udah banyak anak nich..) Tidak semua yang masuk kedalam mulut itu membatalkan puasa. Secara logika mungkin kita berfikir: Jika kita berkumur tentu akan ada air yang bercampur dengan air liur, walaupun sedikit tentu akan tertelan.

Mungkin berfikir logika seperti itu benar adanya. Tapi ada satu hukum yang pasti dalam agama ini: DAHULUKAN DALIL DARI AKAL, DAHULUKAN NASH DARI FIKIRAN ANNAAS (MANUSIA).

Nah untuk menjawab masalahmu ini, dan masalah masalah lainnya tentunya, kita harus mencari dulu ada tidaknya dalil yang berkaitan.

Pertama, tentu al quran, jika tidak ditemukan cari hadistnya, jika masih tidak ditemukan, cari ketetapan2 ulama yang disepakati jumhur.

Ingat anak-anakku, jika Islam ini mengatur adab ke kamar mandi, tentulah tidak ada 1 masalah pun yang akan Islam lewatkan. Termasuk pertanyaanmu ini.

Kembali ke pertanyaanmu, berikut ada beberapa hadits yang bisa menjawabnya:

Dari Umar bin Al-Khatab ra. berkata, "Suatu hari aku beristirahat dan mencium isteriku sedangkan aku berpuasa. Lalu aku datangi nabi SAW dan bertanya, "Aku telah melakukan sesuatu yang fatal hari ini. Aku telah mencium dalam keadaan berpuasa." Rasulullah SAW menjawab, "Tidakkah kamu tahu hukumnya bila kamu berkumur dalam keadaan berpuasa?" Aku menjawab, "Tidak membatalkan puasa." Rasulullah SAW menjawab, "Maka mencium itu pun tidak membatalkan puasa." (HR Ahmad dan Abu Daud)

Dari Laqith bin Shabrah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sempurnakanlah wudhu', dan basahi sela jari-jari, perbanyaklah dalam istinsyak (memasukkan air ke hidung), kecuali bila sedang berpuasa." (HR Arba'ah dan Ibnu Khuzaemah menshahihkannya).

Untuk hadits ke-2 yang dimaksud ulama menyamakan kedudukan istinsyak (memasukkan air kedalam hidung) dengan berkumur. Cermati kalimat "Kecuali bila sedang berpuasa". Kalimat itu bukanlah larangan melakukannya tapi larangan untuk berlebih-lebihan (terlalu banyak).

Kesimpulannya anak-anakku.., berkumur boleh asal tidak berlebihan dan tidak dimaksudkan untuk menghilangkan haus atau sengaja ingin menelan airnya..

Catatan Pondok Ramadhan


Pada hari pertama pondok ramadhan ada hal menarik yang perlu aku tulis mungkin bisa diambil hikmahnya, seorang siswa bertanya kepadaku, katanya: "pak ustad boleh gak ya, kumur-kumur waktu puasa dengan alasan supaya gak bau mulut?.." sambil tersenyum aku jawab: "ini pertanyaan yang paling bagus"

Berkumur saat puasa? Begini anak-anakku.. (belum punya istri tapi udah banyak anak nich..) Tidak semua yang masuk kedalam mulut itu membatalkan puasa. Secara logika mungkin kita berfikir: Jika kita berkumur tentu akan ada air yang bercampur dengan air liur, walaupun sedikit tentu akan tertelan.

Mungkin berfikir logika seperti itu benar adanya. Tapi ada satu hukum yang pasti dalam agama ini: DAHULUKAN DALIL DARI AKAL, DAHULUKAN NASH DARI FIKIRAN ANNAAS (MANUSIA).

Nah untuk menjawab masalahmu ini, dan masalah masalah lainnya tentunya, kita harus mencari dulu ada tidaknya dalil yang berkaitan.

Pertama, tentu al quran, jika tidak ditemukan cari hadistnya, jika masih tidak ditemukan, cari ketetapan2 ulama yang disepakati jumhur.

Ingat anak-anakku, jika Islam ini mengatur adab ke kamar mandi, tentulah tidak ada 1 masalah pun yang akan Islam lewatkan. Termasuk pertanyaanmu ini.

Kembali ke pertanyaanmu, berikut ada beberapa hadits yang bisa menjawabnya:

Dari Umar bin Al-Khatab ra. berkata, "Suatu hari aku beristirahat dan mencium isteriku sedangkan aku berpuasa. Lalu aku datangi nabi SAW dan bertanya, "Aku telah melakukan sesuatu yang fatal hari ini. Aku telah mencium dalam keadaan berpuasa." Rasulullah SAW menjawab, "Tidakkah kamu tahu hukumnya bila kamu berkumur dalam keadaan berpuasa?" Aku menjawab, "Tidak membatalkan puasa." Rasulullah SAW menjawab, "Maka mencium itu pun tidak membatalkan puasa." (HR Ahmad dan Abu Daud)

Dari Laqith bin Shabrah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sempurnakanlah wudhu', dan basahi sela jari-jari, perbanyaklah dalam istinsyak (memasukkan air ke hidung), kecuali bila sedang berpuasa." (HR Arba'ah dan Ibnu Khuzaemah menshahihkannya).

Untuk hadits ke-2 yang dimaksud ulama menyamakan kedudukan istinsyak (memasukkan air kedalam hidung) dengan berkumur. Cermati kalimat "Kecuali bila sedang berpuasa". Kalimat itu bukanlah larangan melakukannya tapi larangan untuk berlebih-lebihan (terlalu banyak).

Kesimpulannya anak-anakku.., berkumur boleh asal tidak berlebihan dan tidak dimaksudkan untuk menghilangkan haus atau sengaja ingin menelan airnya..