Madura Lumbung Santri dan Intelektual

Kamis, 29 Oktober 2009

Ketika Mahasantri NU Mantap Tahlilan


"...akhirnya saya pun kembali mantap Tahlilan, Istigotsah, dan ziarah kubur".

(tulisan ini sama sekali tidak bertujuan untuk mengkotak2 kan Islam, tetapi saya tahu dan yakin perbedaan [khilafiyah] itu sebuah keniscayaan. Walaupun, perbedaan hanya pada masalah-masalah furu'iyah , bukan masalah ushuliyah [pokok] dalam Islam. Tulisan ini juga tidak bermaksud untuk mengunggulkan atau memojokkan, apalagi menyalahkan kelompok tertentu. Ini murni cerita perjalanan pemahaman saya, Islam itu seperti apa sih?)
Saya terlahir di lingkungan Islam tradisionalis. Biasalah, sebagaimana kehidupan pedesaan pada umumnya. Apalagi di daerah pesisir Klampis Bangkalan Madura, kultural Islam NU nya sangat kental banget. Bahkan cenderung sangat fanatik. Saya masih ingat suatu saat salah satu kyai karismatik di tempat saya pernah berkata (kurang lebih) begini:

"..toreh putra-putri kaulah sadejeh panekah didik se sae, se sesuai sareng ajeren epon Al-Qur'an ban Nabi Muhammad saw. Kaulah sareng panjenengan panekah oreng-oreng NU, NU ka'issah epangadek sareng kiai Hasyim Asy'ari ka'angguy nyelamattaghi ajeren Islam ban budaya-budaya se lo' bertentangan sareng ajaran Allah SWT ban supajeh edentitas kaulah sareng panjennengan sadejeh sebagai oreng Indonesia khususseh sebagai oreng madureh lo' elang, maka potra-potri beden kaulah sadejeh toreh didik pa ongguwan sopajeh daddih putrah se abakteh de' kadueh oreng sepponah, agema ban negereh.".
(artinya: "…marilah anak-anak kita didik dengan baik yang sesuai dengan ajaran Al-Qur'an dan Rasulullah saw. Kita semua ini adalah orang-orang NU, NU didirikan oleh Kiai Hasyim Asy'Ari untuk menyelamatkan ajaran Islam dan budaya-budaya asli yang tidak bertentangan dengan ajaran Allah SWT dan supaya identitas sebagai orang Indonesia khususnya orang madura tidak hilang, maka marilah anak-anak kita didik yang baik agar menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua, agama dan Negara…"].

Sampek segitunya. Memang di kampung saya, pendidikan PESANTREN ala NU adalah pendidikan yang wajib. Begitulah gambaran kampung saya. Selepas Mts Raudlatul Ulum Klampis, saya meneruskan Aliyah ditempat yang sama. Keputusan yang kontroversi saat saya hijrah ke sebuah Pesantren Al-Huda di Wajak Malang. Karena kebiasanya temen-temen saya yang mau mondok pasti ke Sidogiri (bahkan saudara dan sepupu-sepupuku alumni Ponpes Sidogiri) atau ke Jombang atau ke Al-Amien Prenduan, Tetapi alhamdulillah saya mondok di basis NU yang sangat kuat dan kental walaupun salah satu lembaganya adalah pondok Tahfid yang hampir semua santrinya adalah anggota Jemaah Tabligh. Saya belajar Islam di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyyah yang berhaluan Ahlisunah wajamaah (Aswaja) nya NU sekaligus juga belajar bersama santri-santri jemaah tabligh. Walaupun pada awalnya hanya ikut-ikutan sedangkan di pondok itu kita bebas memilihnya, sungguh luar biasa pengasuh tidak mendokrinnya bahkan memberikan wawasan dan sebuah pilihan yang sangat demokratis (selama ini ponpes di imejkan institusi yang dokrinal dan otoriter).

Dalam Jemaah Tabligh yang awalnya saya hanya pengen tahu jadi penasaran dan akhirnya ikut mereka jaulah dan ambil bagian dari dakwah mereka.Sempat pakek celana cingkrang, dan memelira jenggot. Sempat juga menelusuri gang-gang sempit di pinggiran desa dan kota. Bahkan pernah pergi ke Markas nya JT di Temboro Magetan. Pernah juga mabit bermalam dari masjid kampung ke kampung lain. Saya juga pernah diusir dari suatu kampung pas malam-malam dikiranya teroris karena pakai jubah dan berjenggot. Tapi amirnya memberikan wejangan kepada saya sambil bercerita kalau dahulu Rasulullah ketika berdakwah ke thaif ditolak dengan kasar. Nabi Saw. Di usir, di soraki dan dikejar-kejar sambil di lempari dengan batu dengan anak-anak kecil. Walaupun terluka dan sakit, Beliau tetap mendoakan mereka dan sabar, berlapang dada serta ikhlas. Meghadapi cobaan yang di hadapinya.

Berbeda dengan di atas, suatu saat pernah terjadi kontraproduktif pada diri saja. Di satu sisi saya sering diskusi dengan teman-teman teman-teman di HTI yang harus memperjuangkan Khilafah Islamiah. Tidak ada kemuliaan Selain Islam, dan Tidak ada Islam tanpa Syariah. Dan tiada Syariah tanpa Khilafah Islamiyah. Jadi Pemerintahan Islam itu harus diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Begitulah perjalanan bagaimana saya memahami Islam, penuh kontraproduktif dengan hati nurani saya sendiri.

Sampai suatu saat saya kuliah di IDIA Prenduan di ujung timur pulau madura. Di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan begitu beragam, santri-santrinya dengan bebas mengamalkan ajaran NU begitu pula temen-temen Muhammadiyah juga bebas mengamalkan ajarannya. Yang 'NU' banget ada dan yang Muhammadiyah 'Tok' juga ada.

Kemudian saya melanjutkan ke CIOS (Centre for Islamic and Occidental Studies ) ISID Gontor Ponorogo, yang sekarang sudah berubah menjadi Universitas Darussalam Gontor Ponorogo, tambah kaget lagi saya pertama kali berada di Masjid ISID Gontor, terdapat banyak sekali perbedaan tapi saling menghormati antara satu dengan lainnya karena para mahasiswa bermacam-macam latar belakangnya, ada yang dari Muhammadiyah, NU, PERSIS, dan berbagai pondok pesantren salaf dan modern lainnya. Akhirnya saya mengerti berbagai macam organisasi Islam termasuk NU tidak hanya di pedesaan, tapi juga di tingkat mahasiswa pasca sarjana juga diwacanakan. Sampai sekarang saya begitu getol membaca literatur-literatur tentang NU yang membuat saya kembali mantap dengan NU saya (bagi saya hanya santri yang ilmunya cempreng saja yang menggugat tahlilan).
Akhirnya saya pun kembali ke 'NU' banget dan kembali mantap Tahlilan, Istigosah, dan ziarah kubur (setiap liburan 'pulang kampung' saya sempatkan ke kuburan ayahanda). (bersambung)…

2 komentar:

  1. Keputusan Masalah Diniyyah NU No: 18 / 13 Rabi’uts Tsaani 1345 H / 21 Oktober 1926 Tentang
    KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH

    TANYA : Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?

    JAWAB : Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH , apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.
    `
    Keterangan :
    1. Dalam kitab I’anatut Thalibin, Kitabul Janaiz : MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”Kami menganggap berkumpul di ( rumah keluarga ) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN ( YANG DILARANG ).”

    2. Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan : “Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan tentang yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah. Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?
    Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”

    “Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).
    Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN ORANG-ORANG BODOH” agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi shallallahu’alaihi wasallam terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
    Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris). ”

    SUMBER: AHKAMUL FUQAHA, SOLUSI PROBLEMATIKA HUKUM ISLAM, KEPUTUSAN MUKTAMAR, MUNAS, DAN KONBES NAHDLATUL ULAMA (1926-2004 M), hal. 15-17, Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.

    BalasHapus
  2. Berkata Imam Asy-Syafi’i رحمه الله : "Aku membenci ma'tam, yaitu berkumpul-kumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru." (Al-Umm 1: 248).
    Lihat juga: Raudhatut Thalibin, Imam An-Nawawi 2:145, Mughnil Muhtaj 1: 268, Hasyiyatul Qalyubi 1: 353, Al-Majmu' Syarah Muhadzab 5: 286, Al- Fiqhu Alal Madzahibil Arba'ah 1:539, Fathul Qadir 2:142, Nailul Authar 4:148.

    Lebih lanjut di Kitab I'anatut Thalibin, Syarah Fathul Mu'in, juz 2, hal.145 –Kitab rujukan Nahdlatul Ulama (NU) - disebutkan:
    نَعَمْ , مَايَفْعَلُهُ النَّاسَ مِنَ اْلإِجْتِمَاعِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلىَ مَنْعِهَا
    “Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk BID'AH MUNGKARAT yang bagi orang yang mencegahnya akan diberi pahala."

    Jadi... apa bedanya NU dan MUhammadiyah di dalam perkara Tahlilan/Kenduri Kematian ini???

    BalasHapus