Madura Lumbung Santri dan Intelektual

Minggu, 08 November 2009

Kalau lulus kuliah kamu mau kerja apa?


Pertanyaan ini selalu dilontarkan ibuku, saudara-saudaraku, tetanggaku, saat aku pulang kampung ke Madura. Seperti kemarin, saat aku nelpon ibuku, jujur, aku bingung kalau ditanya masalah kerja selepas kuliah. Aku tak tahu harus menerangkan seperti apa. Ditambah ibuku mengharapkan agar aku menjadi seorang PNS. Padahal cita-citaku waktu kecil pengen jadi Polisi, karena dulu aku suka nonton film India yang jagoannya polisi.

(sebelumnya maaf kepada PNS karena tulisan ini hanya pendapat pribadi, tanpa menafikan peran PNS yang banyak bermanfaat bagi masyarakat)
Memang keinginan itu sudah lama ibu sampaikan. Artinya harapan itu benar-benar sebuah harapan seorang ibu pada anaknya, Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dengan nada becanda aku menanggapi, sebenarnya aku sama sekali tidak tertarik dengan PNS. Kerja PNS (misal Pemda) terlalu sederhana. Banyak waktu luang di kantor. Sama sekali kurang menantang dan lain sebagainya. Aku sampaikan, seumpama aku menjadi PNS, bisa jadi otakku tambah tumpul dan tidak terasah.

Bagaimana terasah kalau setiap hari PNS hanya memenuhi rutinitas di kantor. Bagaimana mungkin tertantang kalau PNS hanya sendiko dawuh pada atasannya. Aku tidak bisa membayangkan begitu membosankannya kerja itu. Aku rasa, aku tidak akan bisa menikmatinya.

Masih dalam telpon, lantas ibuku bertanya, sebenarnya kamu ini mau kerja seperti apa? Dengan sedikit becanda aku sampaikan kalau aku ingin bekerja mengabdikan hidupku pada dunia pendidikan. Aku tak tahu apakah ibuku paham apa yang aku katakan. Akhirnya aku jawab lagi sekenanya, kalau tidak di kemasyarakatan, aku ingin di pemberdayaan (LSM) atau mendirikan sebuah lembaga yang mandiri.

Ibuku menimpali, “Pendidikan, lha nanti ibu dapat apa?”. Sebuah lontaran yang sulit, karena aku rasa lontaran ini bersifat emosional, antara ibu dengan anak. Masih dengan nada becanda aku jawab, “Kalau sekarang kan ibu masih cukup sejahtera. Masih bisa mencari nafkah sendiri”. Aku tak tahu apakah jawabanku menyinggung perasaannya atau tidak. Tapi memang pertanyaan itu sangat pelik, problematis. Sekurang-kurangnya membenturkan aku pada beberapa pokok masalah; keinginanku untuk memperoleh kerja yang bisa aku nikmati, kepedulianku pada dunia pendidikan, dan keinginan ibuku untuk bisa mensejahterakannya.

Sampai sekarang pertanyaan, “Mau kerja apa?” adalah salah satu faktor yang membuatku kurang nyaman di rumah, yang lain, “Kapan selesainya kuliah?”. Selebihnya alasan teknis, aku tidak mempunyai kamar pribadi yang khusus aku sendiri karena aku jarang pulang walaupun rumahku banyak kamarnya, sehingga setiap kali pulang dalam kondisi apapun aku tidur di ruang tamu di atas sofa. Udara di pesisir pantai Madura terlalu panas, membuat aku tidak nyaman. Malam harinya, banyak nyamuk yang menemani tidurku dengan cupangan merah di sekujur tangan dan badan. Rumahku terlalu ramai, berisik lantaran rumahku pas dipinggir pantai, selain suara ombak yang bertalu-talu, juga mulai jam lima pagi nelayan ramai untuk berangkat melaut mencari ikan dan jam 12 siang mereka datang. Belum lagi malamnya kalau sedang mereka kerja malam.

Biasanya para nelayan kelihatan dari sumringah wajah mereka berseri-seri dan bahagia saat mereka pulang dengan membawa ikan yang banyak, tapi ada juga yang wajahnya kusut saat mereka memperoleh ikan sedikit. Aku lihat mereka termasuk orang-orang yang selalu bersyukur atas nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya tetapi ada juga yang kurang bersyukur atas rizki Allah, terbukti ketika mereka tidak mendapatkan ikan banyak, yang mereka salahkan mesinnya kurang bagus kek, perahunya sudah tua kek, jaringnya jelek kek pokoknya semua serba disalahkan. Mereka menggerutu dengan suara yang lantang diselal-sela bunyi ombak dan mesin perahu, tidak perduli kalau tetangga mereka ada yang lagi istirahat ataupun tidur.
Tetapi walaupun begitu gambaran desaku ada satu alasan pendukung, kenapa aku masih mau pulang kampung? pacarku asli orang Madura.

Kamis, 29 Oktober 2009

Ketika Mahasantri NU Mantap Tahlilan


"...akhirnya saya pun kembali mantap Tahlilan, Istigotsah, dan ziarah kubur".

(tulisan ini sama sekali tidak bertujuan untuk mengkotak2 kan Islam, tetapi saya tahu dan yakin perbedaan [khilafiyah] itu sebuah keniscayaan. Walaupun, perbedaan hanya pada masalah-masalah furu'iyah , bukan masalah ushuliyah [pokok] dalam Islam. Tulisan ini juga tidak bermaksud untuk mengunggulkan atau memojokkan, apalagi menyalahkan kelompok tertentu. Ini murni cerita perjalanan pemahaman saya, Islam itu seperti apa sih?)
Saya terlahir di lingkungan Islam tradisionalis. Biasalah, sebagaimana kehidupan pedesaan pada umumnya. Apalagi di daerah pesisir Klampis Bangkalan Madura, kultural Islam NU nya sangat kental banget. Bahkan cenderung sangat fanatik. Saya masih ingat suatu saat salah satu kyai karismatik di tempat saya pernah berkata (kurang lebih) begini:

"..toreh putra-putri kaulah sadejeh panekah didik se sae, se sesuai sareng ajeren epon Al-Qur'an ban Nabi Muhammad saw. Kaulah sareng panjenengan panekah oreng-oreng NU, NU ka'issah epangadek sareng kiai Hasyim Asy'ari ka'angguy nyelamattaghi ajeren Islam ban budaya-budaya se lo' bertentangan sareng ajaran Allah SWT ban supajeh edentitas kaulah sareng panjennengan sadejeh sebagai oreng Indonesia khususseh sebagai oreng madureh lo' elang, maka potra-potri beden kaulah sadejeh toreh didik pa ongguwan sopajeh daddih putrah se abakteh de' kadueh oreng sepponah, agema ban negereh.".
(artinya: "…marilah anak-anak kita didik dengan baik yang sesuai dengan ajaran Al-Qur'an dan Rasulullah saw. Kita semua ini adalah orang-orang NU, NU didirikan oleh Kiai Hasyim Asy'Ari untuk menyelamatkan ajaran Islam dan budaya-budaya asli yang tidak bertentangan dengan ajaran Allah SWT dan supaya identitas sebagai orang Indonesia khususnya orang madura tidak hilang, maka marilah anak-anak kita didik yang baik agar menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua, agama dan Negara…"].

Sampek segitunya. Memang di kampung saya, pendidikan PESANTREN ala NU adalah pendidikan yang wajib. Begitulah gambaran kampung saya. Selepas Mts Raudlatul Ulum Klampis, saya meneruskan Aliyah ditempat yang sama. Keputusan yang kontroversi saat saya hijrah ke sebuah Pesantren Al-Huda di Wajak Malang. Karena kebiasanya temen-temen saya yang mau mondok pasti ke Sidogiri (bahkan saudara dan sepupu-sepupuku alumni Ponpes Sidogiri) atau ke Jombang atau ke Al-Amien Prenduan, Tetapi alhamdulillah saya mondok di basis NU yang sangat kuat dan kental walaupun salah satu lembaganya adalah pondok Tahfid yang hampir semua santrinya adalah anggota Jemaah Tabligh. Saya belajar Islam di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyyah yang berhaluan Ahlisunah wajamaah (Aswaja) nya NU sekaligus juga belajar bersama santri-santri jemaah tabligh. Walaupun pada awalnya hanya ikut-ikutan sedangkan di pondok itu kita bebas memilihnya, sungguh luar biasa pengasuh tidak mendokrinnya bahkan memberikan wawasan dan sebuah pilihan yang sangat demokratis (selama ini ponpes di imejkan institusi yang dokrinal dan otoriter).

Dalam Jemaah Tabligh yang awalnya saya hanya pengen tahu jadi penasaran dan akhirnya ikut mereka jaulah dan ambil bagian dari dakwah mereka.Sempat pakek celana cingkrang, dan memelira jenggot. Sempat juga menelusuri gang-gang sempit di pinggiran desa dan kota. Bahkan pernah pergi ke Markas nya JT di Temboro Magetan. Pernah juga mabit bermalam dari masjid kampung ke kampung lain. Saya juga pernah diusir dari suatu kampung pas malam-malam dikiranya teroris karena pakai jubah dan berjenggot. Tapi amirnya memberikan wejangan kepada saya sambil bercerita kalau dahulu Rasulullah ketika berdakwah ke thaif ditolak dengan kasar. Nabi Saw. Di usir, di soraki dan dikejar-kejar sambil di lempari dengan batu dengan anak-anak kecil. Walaupun terluka dan sakit, Beliau tetap mendoakan mereka dan sabar, berlapang dada serta ikhlas. Meghadapi cobaan yang di hadapinya.

Berbeda dengan di atas, suatu saat pernah terjadi kontraproduktif pada diri saja. Di satu sisi saya sering diskusi dengan teman-teman teman-teman di HTI yang harus memperjuangkan Khilafah Islamiah. Tidak ada kemuliaan Selain Islam, dan Tidak ada Islam tanpa Syariah. Dan tiada Syariah tanpa Khilafah Islamiyah. Jadi Pemerintahan Islam itu harus diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Begitulah perjalanan bagaimana saya memahami Islam, penuh kontraproduktif dengan hati nurani saya sendiri.

Sampai suatu saat saya kuliah di IDIA Prenduan di ujung timur pulau madura. Di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan begitu beragam, santri-santrinya dengan bebas mengamalkan ajaran NU begitu pula temen-temen Muhammadiyah juga bebas mengamalkan ajarannya. Yang 'NU' banget ada dan yang Muhammadiyah 'Tok' juga ada.

Kemudian saya melanjutkan ke CIOS (Centre for Islamic and Occidental Studies ) ISID Gontor Ponorogo, yang sekarang sudah berubah menjadi Universitas Darussalam Gontor Ponorogo, tambah kaget lagi saya pertama kali berada di Masjid ISID Gontor, terdapat banyak sekali perbedaan tapi saling menghormati antara satu dengan lainnya karena para mahasiswa bermacam-macam latar belakangnya, ada yang dari Muhammadiyah, NU, PERSIS, dan berbagai pondok pesantren salaf dan modern lainnya. Akhirnya saya mengerti berbagai macam organisasi Islam termasuk NU tidak hanya di pedesaan, tapi juga di tingkat mahasiswa pasca sarjana juga diwacanakan. Sampai sekarang saya begitu getol membaca literatur-literatur tentang NU yang membuat saya kembali mantap dengan NU saya (bagi saya hanya santri yang ilmunya cempreng saja yang menggugat tahlilan).
Akhirnya saya pun kembali ke 'NU' banget dan kembali mantap Tahlilan, Istigosah, dan ziarah kubur (setiap liburan 'pulang kampung' saya sempatkan ke kuburan ayahanda). (bersambung)…

Sabtu, 12 September 2009

Pengemis Modern Taklukkan Ibukota


Siapa yang tidak kenal dengan kampung pengemis di Desa Pragaan Daja, Kecamatan Pragaan. Selain sudah di-blow up media secara besar-besaran, setiap puasa masyarakat setempat menanggung beban sosial yang tinggi lantaran menjadi rujukan masalah pengemis.
SUATU hari Matori Abdul Jalil, bekas menteri pertahanan di era Presiden Gus Dur berbincang santai dan sedikit mengeluh. Kepada M. Ali Alhumaidy, salah satu tamunya ketika itu, Matori mengeluhkan banyaknya proposal kegiatan yang masuk.Tapi, Matori tidak murni mengeluhkan banyaknya proposal itu. Melainkan, pengirim proposal kebanyakan berasal dari Desa Pragaan Daja, Kecamatan Pragaan. Sehingga, justru membuat Matori curiga dan pasti ada sesuatu yang salah."Mungkin Anda bisa telusuri, apakah benar proposal kegiatan yang kebanyakan untuk pembangunan masjid itu," kata Matori kepada Malhum-sapaan M. Ali Humaidy-kala itu.Sejak itulah Malhum yang tercatat sebagai dosen STAIN Pamekasan ini terketuk hatinya. Terutama, untuk mengkaji dan meneliti lebih jauh soal keberadaan pengemis di Desa Pragaan Daja. Itu sebabnya, begitu ada kesempatan membuat tesis untuk S2 (strata) di jurusan Sosiologi Universitas Indonesia, dia langsung ingat perkataan Matori.Penelitian itu akhirnya dilakukan oleh Malhum. Dari perhitungannya, tak kurang dari delapan bulan dia meneliti kehidupan pengemis di Desa Pragaan Daja. Bukan saja dari dekat ke lokasi, tetapi sempat mengikuti beberapa pengemis ketika beraksi. "Sudah tidak terhitung berapa bulan saya tidur dan tinggal di Pragaan Daja. Itu demi mencari data empiris," katanya.Di Pragaan Daja itulah Malhum bertemu dengan banyak pihak. Khususnya, para informan, komunitas pengemis dan masyarakat non pengemis. "Untuk membuktikan kegiatan mereka, saya sempat melacak sampai Surabaya, Cirebon, dan Jakarta," paparnya.Dari pelacakan dan penelitian itulah, menurut Malhum, pihaknya menemukan beberapa kesimpulan atas fenomena di Desa Pragaan Daja. Misalnya, soal kriteria pengemis. "Pengemis itu saya lihat ada dua, yang konvensional dan nonkonvensional," ungkapnya.Untuk pengemis konvensional, Malhum merujuk kepada mereka yang biasa mengemis secara door to door, berada di emperan toko dan sebagainya. Ciri mereka biasanya menggunakan baju compang camping dan jauh dari layak."Sedangkan pengemis nonkonvensional lebih maju. Makanya, saya kadang menyebut mereka pengemis modern," jelasnya.Dianggap modern lantaran telah memanfaatkan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan. Misalnya, menggunakan nama-nama di alamat buku telepon. "Yang modern biasanya tidak berpakaian compang camping, tapi lebih necis. Dan, mereka tidak door to door. Tapi, dengan banyak mengirim proposal atau menemui langsung membawa surat permintaan dana," jelasnya.Malhum mengakui, pihaknya lebih tertarik kepada pengemis konvensional sebagai bahan kajian. Terutama, dari segi aktifitas keseharian mereka. Menurut dia, ketika seorang pengemis berangkat, biasanya menggunakan baju bagus. Namun, mendekati sasaran langsung berganti baju. "Kalau ke Sumenep, misalnya. Mendekati terminal, mereka turun dan ganti baju. Selesai bekerja mereka ganti baju bagus lagi," terangnya.Dilihat secara empiris di lapangan, para pengemis itu, ungkap Malhum, kondisi ekonominya bisa dibilang mampu. Indikatornya, mereka memiliki rumah keramik, sepeda motor, bahkan ada yang memiliki parabola."Umumnya, yang kami wawancarai mengaku mengemis untuk biaya hidup. Mereka ini malas bekerja. Mereka memilih mengemis daripada bekerja lantaran tidak ada motivasi," jelas Malhum.Dari beberapa studi lapangan itu, Malhum lalu menghubungkan teori kemiskinan, kemiskinan fisik dan psikologis. "Warga Pragaan Daja yang mengemis lebih kepada miskin secara psikologis," katanya.Malhum menjelaskan, mereka miskin secara psikologis lantaran sebenarnya mampu, tapi menjadikan kegiatan mengemis sebagai mata pencaharian. "Mengapa mereka enjoy, bukankah tidak mulia menurut pandangan agama? Ini yang menjadikan mereka sebenarnya miskin dari psikologis," urainya.Setelah dikaji lebih jauh, selain aspek psikologis, Malhum melihat adanya faktor penyebab lain. Misalnya, dari segi regulasi ekonomi, di Desa Pragaan Daja jauh dari aktifitas pasar. Juga dari segi geografis, warga setempat hidup di tempat tidak produktif.Dari penelitiannya itulah Malhum menyusun tesis berjudul Sosialisasi Nilai Pada Masyarakat Pengemis di Desa Pragaan Daja Kecamatan Pragaan. "Artinya, perlu dilihat secara utuh jika melihat pengemis. Mengharamkan mereka boleh, apabila menyangkut aktifitas bohong. Misalnya, membawa proposal fiktif dan sebagainya," terang Malhum.Sebelumnya, MUI Sumenep mengharamkan pengemis. Namun, belakangan muncul kriteria yang diharamkan. Terutama, mereka yang meminta sumbangan, namun sebenarnya kegiatan fiktif. (mat/AKHMADI YASID/jp.com/sfl)(http://koranmadura.blogspot.com/2009/09/kampung-pengemis-di-desa-pragaan-daja.html)

Senin, 07 September 2009

Aku Malu Jadi Orang Madura













Oleh: Badrus Syamsi, MA (Madura Asli)

Di sini
Perkenankan aku berseru:
- madura, engkaulah tangisku
bila musim labuh hujan tak turun
kubasuhi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku...
di ubun langit kuucapkan sumpah:
- madura, akulah darahmu.
(D. Zawawi Imron, 1996)

Terdapat sebuah stigma sosial yang sudah lama dipergunakan ‘orang luar’ untuk mengidentifikasi masyarakat Madura hingga kini, yaitu keterbelakangan dan kekerasan. Dua label yang belum tentu benar itu selalu muncul ketika orang-orang berbicara tentang Madura dan masyarakatnya. Stigma ini sering terdengar oleh penulis yang pernah hidup dan dibesarkan di luar Madura.

Kekasaran seakan-akan menjadi atribut yang melekat dalam jati diri masyarakat Madura. Banyak orang mencitrakan masyarakat dan kebudayaan Madura dengan sikap serba sangar, mudah menggunakan senjata dalam penyelesaian masalah (carok), pendendam dan tidak mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan. Begitulah anggapan mereka pada umumnya.

Ada yang mengaitkan citra kekasaran masyarakat Madura dengan pengalaman masa lalu.Di masa kapitalisme kolonial, masyarakat Madura mengalami proses eksploatasi dan dehumanisasi. Perlakuan itu melahirkan perilaku kriminal di tengah masyarakat.
Meskipun penulis sulit membantah bahwa kekerasan telah menjadi bagian dari kehidupan orang Madura masa lalu. Jenis pekerjaan kadang mengkondisikan mereka bersikap tegas, berani, dan terkadang berlaku kasar agar tetap eksis. Dalam kasus-kasus tertentu, temperamen orang-orang Madura yang ’serba keras’ itu dan itu memang penulis akui, tapi itu bisa dimanfatkan untuk menekan lawan (premanisme) dalam menyelesaikan masalah.

Sebenarnya kalau kita boleh bangga, mengutip seorang peneliti luar, Mien A. Rifai mengatakan Madura bukan pulau melainkan benua. Madura memang kecil, tetapi unsur-unsur kebudayaannya sangat kaya. Mungkin karena kuatnya pencitraan negatif tersebut, sebagian orang-orang Madura di perantauan, terutama kaum terpelajar, mahasiswa merasa malu menunjukkan jati dirinya sebagai orang Madura. Kasus ini ini terjadi terhadap teman-teman dan saudara penulis yang malu mengaku berasal dari Madura (di alamat face book mereka jarang mencantumkan berasal dari madura)

Wahai saudar-saudaraku...
Kita harus sadar kebudayaan Madura menghadapi tantangan dahsyat Pasca Suramadu ini. Sedangkan tantangan yang paling utama adalah pemuda Madura itu sendiri yang malu mengaku sebagai orang Madura, bahkan sudah tidak mau berbahasa Madura lagi (katanya tidak gaul). Kedua, bagaimana menghapus stereotipe negatif yang sudah terlanjur lengket di benak banyak orang tentang masyarakat Madura yang keras. Inilah saatnya teman-teman dan saudara-saudaraku untuk menjawab tantangan dengan menunjukkan identitas kalian dan jangan suka bersembunyi dan bangga dibalik identitas orang lain.

Terakhir, penulis sangat berterima kasih kepada para tokoh, teman-teman dan saudara-saudaraku yang ada diluar Madura yang masih peduli akan daerahnya, marilah kita bangkit bahwa kita bisa menjadi daerah yang disegani dan dihormati di seluruh dunia. Kawan Madura akan selalu menunggu kiprahmu dalam rangka membangun tempat kelahiranmu. Wallahu A'lam Bisshowab. Semoga bermanfaat.

Selasa, 01 September 2009

Rasulullah Bukan Pedofilia: Aisyah Tidak Berumur 9 Tahun Saat Menikah


Menanggapi kasus Syekh Puji dan Kiai Masyhurat yang sedang popular, ada baiknya saya kutipkan sebuah tulisan dari Dr. Muhammad Syafi’i Antonio dalam apendiks bukunya yang berjudul “Muhammad The Super Leader Super Manager”. Mudah2an tulisan ini dapat menjadi referensi, bahwa Rasulullah saw bukanlah seorang yang menikah dengan anak di bawah umur apalagi tudingan pedofilia dari kaum orientalis. Begitu juga sudah seharusnya apabila siapa pun yang mengaku umatnya belajar untuk meneladani beliau
Ringkasnya:
Ada baiknya kita lihat penelitian terhadap hadits mengenai umur Aisyah ketika dinikahkan. Hadits mengenai hal tersebut tergolong problematis alias dho’if (lemah). Beberapa riwayat yang tertulis dalam kitab-kitab hadits berasal hanya dari satu-satunya yaitu dari Hisyam bin Urwah yang didengarnya sendiri dari ayahnya.
Mengherankan mengapa Hisyam saja satu-satunya yang menyuarakan tentang umur pernikahan Aisyah tersebut. Bahkan para perawi terkenal seperti Abu Hurairah dan Malik bin Anas pun tidak meriwayatkannya. Itu pun baru diutarakan Hisyam ketika ia telah bermukim di Irak. Hisyam pindah bermukim ke negeri itu dalam umur 71 tahun.
Mengenai Hisyam ini Ya’qub bin Syaibah berkata, “Apa yang dituturkan oleh Hisyam sangat terpercaya, kecuali yang disebutkannya tatkala ia sudah pindah ke Irak". Syaibah menambahkan bahwa Malik bin Anas menolak penuturan Hisyam yang dilaporkan oleh penduduk Irak. Tertulis pula dalam kitab tentang sketsa kehidupan para perwai hadits, bahwa tatkala Hisyam berusia lanjut, ingatannya sangat menurun. Alhasil, riwayat umur pernikahan Aisyah yang bersumber dari Hisyam bin Urwah, tertolak!.
Untuk selanjutnya terlebih dahulu dikemukakan beberapa peristiwa penting secara kronologis :
Pra 610 M : Zaman Jahiliyah
610 M : Permulaan wahyu turun..
610 M : Abu Bakar masuk Islam.
613 M : Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan Islam secara terbuka.
615 M : Umat Islam hijrah ke HAbasyah.
616 M : Umar bin al Khattab masuk Islam.
620 M : Aisyah RA dinikahkan
622 M : Hijrah ke Madinah
623/624 M : Aisyah serumah sebagai suami isteri dengan Nabi s.a.w
Menurut At-Thabari. Keempat anak Abu Bakar dilahirkan oleh isterinya pada zaman Jahiliyah, artinya sebelum 610 M. Jika Aisyah dinikahkan dalam umur 6 tahun berarti ‘Aisyah lahir tahun 613/614 M. padahal menurut At-Thabari semua keempat anak Abu Bakar lahir pada zaman Jahiliyah, yaitu sebelum tahun 610 M. Alhasil berdasar atas riwayat Thabari, Aisyah tidak dilahirkan 613 M melainkan sebelum 610 M. Jadi kalau Aisyah dinikahkan sebelum 620 M, maka beliau dinikahkan pada umur di atas 10 tahun dan hidup sebagai suami istri dengan Nabi dalam umur di atas 13 tahun. Kalau di atas 13 tahun, dalam umur berapa?
Untuk itu marilah kita menengok kepada kakak perempuan Aisyah yaitu Asma. Menurut Abd. Al-Rahman ibn Abi Zannad. “Asma 10 tahun lebih tua dari Aisyah”. Menurut Ibn Hajar al Asqalani, Asma hidup hingga usia 100 tahun dan meninggal tahun 73 atau 74 Hijriah. Artinya, apabila Asma meninggal dalam usia 100 tahun dan meninggal dalam tahun 73 atau 74 Hijriyah, maka Asma berumur 27 atau 28 tahun pada waktu Hijrah, sehingga Aisyah berumur (27 atau 28 ) – 10 = 17 atau 18 tahun pada waktu hijrah. Dengan demikian berarti Aisyah mulai hidup berumah tangga dengan Nabi Muhammad SAW pada waktu berumur 19 atau 20 tahun!.

Wallahu a’lam bish-shawaab
(admin)

Senin, 31 Agustus 2009

Kiai Masyhurat Lebih Hebat dari Syekh Puji, 5 Istri Dinikahi di Bawah Umur !


LENTENG, SUMENEP. Pujiono Cahyo Widianto atau Syekh Puji yang namanya mencuat belakangan ini akibat menikahi bocah di bawah umur tampaknya bukan apa-apa bagi Masyhurat Usman, seorang kiai tenar di Kabupaten Sumenep, Pulau Madura. Jika Syekh Puji (pemilik Ponpes Miftakhul Jannah, Semarang) menikahi seorang saja bocah putri di bawah umur, KH Masyhurat memiliki lima istri yang dinikahinya saat mereka masih di bawah umur. Total jumlah istri KH Masyhurat yang kini berusia 57 tahun itu sebanyak 10 orang.

Kemarin Surya mengunjungi kediaman KH Masyhurat di Dusun Tarebung, Desa Lenteng Barat, Kecamatan Lenteng, Sumenep. Surya ditemui oleh santri kepercayaannya, Mujiburrahman (yang dipanggil Jibur), dan seorang istri KH Masyhurat karena kebetulan sang kiai sedang pergi ke luar kota.

Menurut Jibur, dari 10 istri KH Masyhurat Usman, lima di antaranya dipersunting saat para perempuan itu masih berumur antara 12 dan 17 tahun. Sebagian besar orangtua perempuan yang dipinang oleh KH Masyhurat itu ikhlas dan merelakan anaknya dikawini sang kiai.

“Bukan hanya orangtua yang menerima dan ikhlas memiliki menantu Abah Masyhurat, anak-anak perempuan itu pun senang hati menerima pinangan Abah,” tandas Jibur, Kamis (30/10/08).

Menurut Jibur, yang dinikahi KH Masyhurat saat masih di bawah umur adalah Ernawati (ketika kelas VI SD), Hindun (dikawini tatkala kelas 1 SMP), Maskiyah ketika masih 15 tahun, Sahama dinikahi saat kelas IV madrasah ibtidaiyah (setingkat SD) dalam usia 10 tahun, dan Linda Yusniah dinikahi saat belum genap 17 tahun.

Menurut Jibur, pernikahan kiai kharismatik itu untuk membantu mereka yang lemah, baik dalam agama maupun dalam kehidupan ekonomi.

Setelah dinikahi KH Masyhurat, para istri di bawah umur itu sudah naik haji semua. Dari 10 istri kiai itu, tinggal seorang yang belum bergelar hajah.

“Pernikahan Nabi Muhammad SAW dan Aisyah RA menjadi salah satu rujukannya. Dan, dibolehkan mengawini perempuan yang sudah haid karena sudah dianggap akil balik. Bahkan, belum haid sekalipun dapat dinikahkan, asal tidak boleh digauli dulu sebelum haid,” kata Jibur.

Namun, saat ditanya apakah setelah perkawinan itu para istri di bawah umur tersebut langsung digauli oleh KH Masyhurat, Jibur mengaku tidak tahu secara pasti. Cuma dia melihat, istri-istri sang kiai yang dikawini dalam usia dini tersebut tidak langsung punya anak sampai bertahun-tahun. Kini para istri KH Masyhurat yang dinikahi saat masih di bawah umur itu, berusia rata-rata 25 tahun.

“Kiai kan pasti tahu bagaimana memperlakukan istri yang masih di bawah umur karena ilmu kiai kan sudah tinggi. Tidak mungkin beliau mengeksploitasi anak-anak,” kata Jibur.

Komentar Jibur juga dibenarkan Hajah Maskiyah, istri kelima KH Masyhurat. Menurut Hajah Maskiyah, perkawinan di bawah umur tidak perlu diperdebatkan. Yang penting orangtua dan anak yang akan dinikahkan setuju dan sudah dinyatakan akil balik atau setidaknya sudah mengalami haid.

“Yang sangat penting, sang suami bertanggung jawab menafkahi istrinya, baik secara lahir maupun batin,” ujar Hajah Maskiyah yang saat dikawini KH Masyhurat berumur 15 tahun.

Hajah Maskiyah menambahkan, istri-istri KH Masyhurat yang berjumlah 10 orang sebagian besar dinikahi sebelum usia mereka 20 tahun. Bahkan, salah satu istri KH Masyhurat, yakni Hajah Sahama, dikawin saat dia masih duduk di kelas IV madrasah ibtidaiyah dan berumur sekitar 10 tahun.

“Tak satu pun di antara kami mengeluhkan adanya masalah baik lahir maupun batin. Kami semua kini hidup rukun dan tenang dalam satu kompleks rumah laksana saudara,” tutur Hajah Maskiyah dengan bangga.

Namun, ada juga istri KH Masyhurat yang sudah tua saat dinikahi, yaitu istri terakhir KH Masyhurat, yakni Hajah Zubaidah yang dikawin sewaktu dia telah berumur 45 tahun. “Jadi, kiai kawin bukan karena nafsu, melainkan ibadah dan dakwah,” ucap Hajah Maskiyah.

Saat ditemui Surya beberapa waktu lalu, KH Masyhurat mengatakan bahwa perkawinan merupakan urusan pribadi atau hak azasi tiap-tiap individu. Bagi dirinya, poligami (perkawinan dengan banyak istri) itu demi mengikuti sunah rasul sepanjang memiliki kemampuan secara ekonomi dan bisa berbuat adil, baik lahir maupun batin, kepada para istri.

KH Masyurat menegaskan, dirinya melakukan pernikahan dengan motif ibadah, bahkan demi kepentingan penyebaran (syiar) agama Islam, bukan karena dorongan nafsu birahi.

“Intinya untuk menyebarkan agama, yakni Islam. Salah cara untuk menyebarkan agama Islam dengan cara memperbanyak keturunan,” tutur KH Masyhurat yang kini memiliki 24 orang anak.(http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2008/10/31/08253582/5.istri.kiai.masyhurat.juga.dinikahi.saat.masih.muda)

Uswatun Hasanah, S.Pd (Bu Us-Mantan Guru Raudlatul Ulum)


Uswatun Hasanah, S.Pd, lahir di Tulungagung, 28 Mei 1968 silam. Menamatkan pendidikan dasar dari MI Riyadlotul Uqul lulus tahun 1982. Lalu melanjutkan ke MTs Negeri 1 Tulungagung hingga lulus tahun 1985. Menempuh pendidikan menengah atas di MAN 1 Tulungagung, lulus tahun 1988. Berkat prestasinya yang cukup baik, ia menekadkan diri menempuh pendidikan sarjananya di IKIP Surabaya, dan berhasil lulus dengan predikat sangat memuaskan pada tahun 1990.

Bu Us (begitu ia akrab disapa) adalah seorang yang cukup kaya pengalaman dalam mengajar. Sebelum di Al Azhaar, suka-duka menjalani profesi keguruan pernah ia alami diantaranya; di SMPN Klampis Bangkalan Madura. Lalu MTs Raudlatul Ulum Klampis, Bangkalan, Madura. Pernah juga mengajar di MA Raudlatul Ulum Klampis Bangkalan Madura, dan mengajar TK di R.A. Darussalam kedamean Gresik. Tidaklah mengherankan kalau perempuan berusia 40 tahun ini ditunjuk sebagai walikelas 6B SD Islam Al Azhaar. Bekal pengalaman mengajar yang cukup lama merupakan jaminan tersendiri atas kemampuannya.

Hidup Mulia Mati Masuk Surga adalah motto hidupnya. Karenanya, sedapat mungkin ia berusaha untuk melaksanakan amalan-amalan yang akan mengantarkannya pada kedududukan mulia itu. Salah satunya adalah dengan mendalami ilmu Al Qur’an dan juga mengamalkannya. Dalam hadistnya Rasulullah Saw, bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah mereka yang belajar Al Qur’an lalu mengajarkannya pula.” Hal ini sesuai dengan kegemarannya selama ini yakni mendengarkan, membaca dan mempelajari Al Qur’an. Apalagi, saat ini ia begitu giat terlibat di dalam pembinaan-pembinaan Al Quran yang diadakan oleh lembaga. Di dalam kesan dan pesannya ia menuliskan bahwa ia sangat senang mengajar di Al Azhaar. Al Azhaar telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam perjalanan hidupnya. Terlalu banyak suka cita dibandingkan kecewa. Karenanya ia begitu sangat senang dan betah.

Sekarang, ia bersama keluarga tercintanya tinggal di dusun Doropayung RT 4 RW 2 desa Doroampel, kecamatan Sumbergempol, Tulungagung. Dari pernikahannya dengan Malhudji As’ari (Pak Dam-Panggilan akrabnya-Mantan Kepala Sekolah MARU), ia dikaruniai tiga anak. Sulung bernama Alfi Kamalia, anak kedua Alya Raviqa, lalu bungsu bernama Faiz Infradillah.(admin)

Rabu, 19 Agustus 2009

Pemusyrikan Massal Berkedok Pelestarian Budaya Rokat Tase’




Oleh: Badrus Syamsi
Asal: Klampis, Bangkalan


Seperti apa yang telah diberitakan oleh Jawa Pos (Selasa, 13/11/07), bahwa rangkaian ritual rokat tase’ di pesisir pantai Klampis Timur, Kecamatan Klampis, Bangkalan berupa larung sesaji ke tengah laut, tumpeng jumbo berikut 56 tumpeng kecil, tak ketinggal sesajen utama berupa kepala sapi. Astaqfirullahal adzim...

Dalam rangka pelestarian budaya rokat tase', warga pesisir pantai dianjurkan agar tidak bekerja lalu serempak dimusyrikkan, lewat acara tersebut. Alasannya adalah bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di sini lafal Tuhan Yang Maha Esa (dari sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa) telah menjadi simbol syetan, karena yang dimintai berkah adalah apa yang mereka anggap sebagai penjaga laut, misalnya kepercayaan legenda/ mitos, yaitu kepercayaan terhadap syetan dengan meletakkan kepala sapi di pagak (Palo: bhs madura) yang merupakan tetenger muara pantai.

Bukan hanya warga sekitar, tokoh pemuda, mahasiswa dan aparat desa saja yang menggalakkan kemusyrikan dengan aneka upacara model animisme primitif yang sudah diberantas oleh para ulama dahulu. Tetapi didukung oleh Muspika, Salah satunya adalah Camat yang ikut serta menyemarakkan upacara kemusyrikan tersebut.

Dengan demikian, tatkala kemudian Allah swt menimpakan bencana tsunami di Aceh dan musibah nasional lainnya, seharusnya masyarakat yang telah mengadakan upacara resmi kemusyrikan yang menentang Allah swt ini mestinya sadar dan bertobat. Tetapi justru bertambah semakin meratanya kemusyrikan. Bukannya sadar dan kembali kepada Allah swt, namun justru lebih kental kemusyrikannya.

Itulah bukti nyata pemusyrikan umum secara massal yang dimotori oleh para tokoh pemuda dan mahasiswa islam dan lebih anehnya lagi didukung oleh pemuka desa dan muspika kecamatan serta anggota DPR. Upacara-upacara adat pakai sesaji itu sudah jelas kemusyrikannya dan bertentangan dengan ajaran Islam. Tetapi di pesisir, sejak anak-anak sudah dikasih tontonan bahkan contoh kemusyrikan, baik oleh para orang tua ataupun para mahasiswa Islam.

Pencopotan Tauhid secara massal ini, lebih dahsyat dibanding sekadar penjajahan fisik oleh Belanda dan lainnya selama 350 tahun. Masyarakat awam digarap untuk menjadi musyrik yang sangat dimurkai Allah swt.

Sadarlah wahai tokoh masyarakat, dan sadarlah wahai saudara-saudaraku, para pemuda dan mahasiswa khususnya di Klampis Timur. Dalam hidup ini, manusia hanyalah ditugaskan untuk menghamba, mengabdi, beribadah kepada Allah swt.

Masuk akal lah kalau penghuni-penghuni neraka itu tidak sedikit dan kekal di dalamnya. Karena memang tingkat kejahatannya tidak bisa kita hitung lagi. Bayangkan kalau memusyrikkan ratusan orang secara sistematis. Nanti yang dimusyrikkan itu kemudian beranak pinak lagi, mereka musyrik lagi dan seterusnya, dan itu atas upaya dari kita asalnya, betapa dahsyatnya.

Terkutuknya orang Yahudi Bani Israel karena penentangannya terhadap aturan Allah swt hingga diubah menjadi babi dan kera, masih tersurat nyata dalam Kitab Suci Al-Qur’an sebagai peringatan, dan kita tentu wajib mempercayainya. Kisahnya ada di dalam beberapa surat, yaitu:
Katakanlah, "Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka yang dijadikan kera dan babi dan menyembah thaghut?" Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (QS. Al-Maidah: 60)
Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya, "Jadilah kamu kera yang hina.(QS. Al-A'raf: 66)

Namun kini upaya untuk menjadikan manusia ini jadi babi dan kera justru digalakkan secara seksama, atas inisiatif kita semua. Naudzubillahi min dzalik…

Tulisan ini hanya sebuah kegelisahan yang bisa diungkapkan secara sederhana, oleh seorang santri yang lemah tetapi resah atas masyarakatnya, sampai berlindung di dalam kamar-kamar terkunci pun masih diburu dan dijajah, untuk dicopot imannya dan dilepas akhlaq, moral, dan etikanya. Dari dada yang berisi keimanan Tauhid, digerayangi untuk diganti menjadi syirik.

Akankah pencopotan iman dan pelucutan akhlaq ini kita lanjutkan bersama? Hingga anak-anak dan para orangtua yang masih ada imannya di dada sangat sesak untuk bernafas, karena keluarga, anak-anak dan cucunya walau berada di dalam rumah pun digarap atas nama "pelestarian budaya" yang mencopot iman dan akhlaq setiap saat. Lantas, dimanakah tempat seorang santri lemah seperti penulis ini, bila hanya untuk bernafas lega saja sudah tidak ada tempatnya lagi, wahai saudara-saudaraku, kembalilah dengan hukum Allah! Sumber: (Catatan Pribadi/2007)

Semoga bermanfaat.

Jenggot dan Surban, Produk Budaya Arab?



Oleh : Badrus Syamsi
Asal : Bangkalan

Peristiwa ini terjadi ketika penulis dalam masa pengabdian di suatu pondok pesantren salaf Al-Huda Wajak Malang, waktu itu ada tamu alumni yang dulu satu kelas dengan penulis di pondok pesantren tersebut. Dia baru satu semester diterima di salah satu Universitas Islam yang terkenal di Malang. Seperti pada umumnya budaya santri yang sudah alumni, tidak lupa selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk silaturrahim kepada para kiai dan teman-temannya. Karena sama-sama kangen kamipun malam itu juga, mengajak dia berkumpul dengan teman-temannya dan meminta dia bercerita tentang pengalamannya di kampus.
Tetapi setelah beberapa saat, dari pendapat-pendapatnya ada sesuatu yang ganjil dan berbeda dengan apa yang kami sama-sama pelajari dulu. Dia mengatakan kepada kami "bahwa jenggot yang kamu pelihara dan surban yang kamu pakai itu bukanlah sunnah Rasulullah, tapi itu adalah produk budaya Arab" dus.. "Astaqfirullah.." kami tersentak, tapi dia seperti tidak punya dosa dengan ucapannya tadi, yang pada akhirnya menimbulkan perdebatan yang hebat diantara kami dengan mengungkapkan argumen masing-masing dan sampai larut malampun tidak ada titik temunya.
Kisah ini adalah salah satu kasus dari beberapa kasus alumni sebuah pondok pesantren yang menentang sunah Rasulullah saw setelah mereka menjadi mahasiswa di sebuat Perguruan Tinggi yang berlabelkan Islam. Dari cerita di atas bisa kita mengambil sekurang-kurangnya dua pelajaran yang sangat penting, pertama adalah hakekat seorang mahasiswa muslim dan yang kedua hadits Rasullullah saw. Yang diklaim sebagai produk budaya arab.
Pertama, hakikat seorang mahasiswa muslim adalah sebagaimana yang diharapkan oleh Fatullah, salah satu dosen Pasca Sarjana di UI Jkt, UIN Jkt, UIN Bandung, dan beberapa Universitas Islam terkemuka lainnya, Fathullah mengatakan bahwa menjadi mahasiswa jurusan ilmu-ilmu agama, baik itu tafsir, hadits, fiqh, aqidah, dakwah dan lain-lain secara sengaja sudah mengarahkan dirinya untuk menjadi ulama dan pakar dalam bidang kajian yang digelutinya. (Fathullah:2007, hal. 25)
Harapan Fathullah, seorang mahasiswa muslim jika selesai studinya mampu meneruskan estafet perjuangan para ulama, yang akhir-akhir ini diserang dari berbagai arah oleh musuh-musuh Islam yang menginginkan agar agama Islam perlahan-lahan hancur atau minimal menjauhkan umat islam dari agamanya. Tentunya membutuhkan sarjana muslim yang cukup handal untuk menghadapinya, bukan justru menghancurkannya seperti mahasiswa mantan santri yang telah penulis ceritakan di atas.
Kedua, hadist rosullullah SAW diklaim sebagai produk budaya arab. Gugatan terhadap hadits bermula pada pertengahan abad ke-19 masehi oleh orientalis dan pertama kali yang mempersoalkan status hadits dalam islam adalah Alois Sprenger seorang orientalis-misionaris asal jerman yang mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik). (Syamsuddin: 2008, hal. 28) Orientalis yang dimaksud disini adalah para ilmuan barat yang mengkaji Islam dari berbagai aspeknya dengan tujuan membantah kebenaran Islam dan menunjukkan celanya. (Khadhar: 2005, hal. 76)

Tuduhan bahwa Hadits adalah hasil produk budaya Arab diamini oleh Ignaz Goldziher seorang Yahudi kelahiran Hungaria ini sempat "nyantri" di Univesitas Al-Azhar Kairo, Mesir selama kurang lebih setahun (1873-1874). Menurut dia hadist adalah produk bikinan masyarakat Islam beberapa abad setelah Nabi saw. Wafat, bukan berasal dan tidak asli dari beliau. (Syamsuddin: 2008, hal. 30)

Kemudian di Mesir muncullah Nasr Hamid Abu Zayd yang mengingkari otentisitas sunnah Rasululullah saw bahkan mengatakan Al-Qur'an adalah produk budaya (muntaj tsaqafi) sehingga Mahkamah Agung Mesir pada tanggal 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan bahwa Nasr Hamid Abu Zayd dinyatakan murtad dan perkawinannya dibatalkan. (Syamsuddin: 2008, hal. 188)
Menurut M. Natsir, orang yang tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengetahuan adalah seorang sekularis. Sedangkan gerakan sekularisasi di Indonesia di mulai akhir tahun 1960 oleh aktivis Islam yang tergabung dalam Lingkaran Diskusi Limited Group, yang sangat terpengaruh oleh buku "The Secular City"nya Harvey Cox. Diantara anggotanya yaitu Dawam Raharjo, Djon Effendi dan Ahmad Wahid. (Husaini: 2009, hal. 37)

Sekularisasi masuk ke Perguruan Tinggi bisa dikatakan dimulai tahun 1973 dengan ditetapkannya buku Islam ditinjau dari berbagai aspeknya karya Prof. Harun Nasution (alumnus Studi Islam McGill University) sebagai buku wajib dalam studi Islam di PTI. Pada tanggal 3 Desember 1975, Prof. HM Rasyidi, menentang keras bukunya Prof. Harun Nasution dan mengkritik fasal demi fasal bahwa buku itu sangat berbahaya, sekaligus meminta kepada Kementrian Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut. Sayangnya buku tersebut sampai sekarang masih dijadikan sebagai buku wajib di seluruh IAINdi Indonesia. (Husaini: 2009, hal. 39-40)
Pendapat-pendapat yang menyesatkan dalam buku-bukunya orientalis dan Neo-Orientalis ini langsung ditelan mentah-mentah dan diadopsi tanpa adapsi kritis oleh beberapa mahasiswa IAIN Indonesia. Sehingga tidaklah heran, jika Universitas Islam atau Perguruan Tinggi Islam di Indonesia melahirkan sarjana Muslim yang ikut-ikutan orientalis mengecam hadist Rosulullah saw. walaupun masih banyak juga mahasiswa muslim yang berpegang teguh kepada al-Qur'an dan hadits Rosulullah saw. Semoga bermanfaat.
Daftar Pustaka
 Fathullah, Ahmad Lutfi, "Selangkah Lagi Mahasiswa UIN Jadi Kiyai" (Al-Mughni Pres Kuningan Jakarta 2007)
 Syamsuddin, Arif, "Orientalis dan Diabolisme Pemikiran" (Gema Insani Jakarta 2008)
 Khadhar, Lathifah Ibrahim, "Ketika Barat Memfitnah Islam" Penerjemah Abdul Hayyie (Gema Insani Pres Jakarta 2005)
 Syamsuddin, arif, "Orientalis dan Diabolisme Pemikiran" (Gema Insani Jakarta 2008)
 Adian Husaini, "Indonesia Masa Depan perspektif Peradaban Islam" Disampaikan Dalam Acara Tasyakkuran dan Orasi Ilmiah DR. Adian Husaini oleh INSISTS di Aula Masjid Al-Furqan-DDII Indonesia, 2009